Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Lima Tahun Pernikahan

| Wednesday, 11 December 2024 |

Hari ini, tepat lima tahun lalu, saya menikah dengan Kalis Mardiasih. Ia perempuan yang cerdas, baik, dan tentu saja, tabah. Dengan ketabahan itulah ia berani dan mantap menjalani kehidupan yang lebih serius tetapi penuh dengan ketidakpastian dengan saya.





Di Kelenteng Hok Tik Bio, tempat resepsi pernikahan kami saat itu, saya tak henti-hentinya melirik Kalis yang berdiri di samping saya mengenakan gaun berwarna krem. Rasanya seperti mimpi.

Saya masih tak percaya, bahwa saya pada akhirnya menikah, dan yang lebih sukar untuk saya percayai, saya menikah bukan dengan perempuan biasa, melainkan perempuan yang cukup populer dan punya potensi lumayan besar untuk terpilih menjadi anggota legislatif Kabupaten Blora seandainya ia dipinang parpol dan dimodali logistik yang cukup.

Kerumunan tamu yang ada di hadapan sayalah yang segera menyadarkan saya, bahwa saya tidak sedang bermimpi.

Saya melirik ke sebelah ujung kanan, di sana berdiri Pak Samuri, mertua saya, yang perawakannya gagah gempal, yang segera mengingatkan saya pada sosok Zhang Fei dalam kisah Romance of the Three Kingdoms. Sementara di ujung kiri, sosok Trimo “Franky” Mulgiyanto berusaha mengimbangi kegagahan besannya itu dengan memasang gaya tegap khas seorang hansip kamra.

Memang nyata. Bukan mimpi.

“Sekarang kamu suamiku lho,” kata Kalis berbisik.

Saya tertawa kecil. Itu menjadi hari yang aneh, tapi sangat menggembirakan.

Saya dan Kalis kemudian menjalani hari-hari yang panjang dan akrobatik sebagai pasangan suami-istri. Kami mencoba membangun keluarga kecil yang bahagia, yang selalu punya siasat untuk menghadapi masalah-masalah rumah tangga kami, baik masalah yang konyol maupun masalah yang serius.

Kami ingin menjadi pasangan yang saling memahami, walau pada kenyataannya, itu ternyata bukan hal yang mudah. Banyak hal dari Kalis yang sukar untuk saya pahami, dan saya kira begitu pula sebaliknya.

Kalis membuat hidup saya menjadi lebih bergairah. Perhatian yang ia berikan, kekonyolan yang ia tunjukkan, sikap kekanak-kanakan yang ia munculkan, kepedulian yang ia praktikkan, dan segala rupa sifat-sifat Kalis dalam menjalani hidup sebagai seorang istri.

Kalis-lah perempuan yang menjadi tempat saya bisa memamerkan pencapaian-pencapaian saya, juga tempat bercerita sambil menangis tentang masalah-masalah saya, walau kadang, ia jugalah yang menjadi sumber masalah-masalah saya.

Saya bahagia hidup bersama Kalis, dan belakangan, juga bersama Raras, anak kami. Keluarga kecil inilah, alasan yang membuat saya selalu ingin hidup lebih lama.

Terima kasih, Kalis, atas lima tahun yang menyenangkan, dan yang masih akan panjang.

Menghakimi Aksi Mandi Susu Sapi

| Sunday, 10 November 2024 |

mandi susu Aksi mandi susu di Boyolali - foto oleh Aloysius Jarot Nugroho (Antara Foto)

Para peternak sapi perah di Boyolali dan sekitarnya merugi karena aturan pembatasan kuota susu, mereka lalu protes dengan cara mandi susu. Aksi protes para peternak itu lalu dikomentari oleh sekelompok orang yang mengatakan bahwa itu pemborosan.

“Kenapa susunya tidak dibagikan saja kepada masyarakat? Kenapa malah buat mandi, pemborosan, mubazir.” Kata mereka.

Tidak salah, namun itu jadi bukti bahwa masih banyak orang yang tidak bisa melihat inti permasalahan dari sebuah perkara ekonomi-sosial. Fenomena kompleks seperti aksi mandi susu sapi itu ya bakal konyol kalau cuma dilihat dari kacamata boros atau tidak. Mubazir atau tidak. Etis agama atau tidak.

Dari dulu, yang namanya aksi protes itu ya akan selalu mengandung “pemborosan”. Perjuangan akan selalu membutuhkan biaya.

Para peternak itu “terpaksa” memilih aksi mandi susu itu selain sebagai ekspresi kekecewaan, juga memang agar mendapat perhatian luas dari berbagai pihak, sehingga isu tentang aturan pembatasan kuota susu itu bisa dibicarakan oleh banyak pihak, termasuk pemegang kebijakan.

Kok kasian betul para peternak sapi itu. Sudahlah rugi karena susunya tidak bisa dijual, masih dituntut untuk menyedekahkan susunya, dan kalau tidak mereka lakukan, mereka bakal dihujat karena dianggap melakukan hal mubazir.

Para penghujat itu tidak berpikir, bahwa mengemas susu dan mendistribusikan susu secara gratis ke orang-orang itu butuh biaya. Kecuali orang yang dibagi susu datang sendiri satu-satu ke peternakan lalu disuruh ngenyot sendiri ke tetek sapinya. Sekali lagi, mereka tidak mampu berpikir sejauh itu.

Orang yang cuma bisa berkomentar soal boros dan tidak ini, kalau melihat demonstrasi menuntut keadilan yang disertai aksi membakar ban bekas, mungkin akan berkomentar “Sayang ban bekasnya, harusnya bisa diolah menjadi sandal jepit atau ayunan.”

Akan lebih geli lagi kalau membayangkan seandainya mereka hidup di zaman perjuangan, mereka mungkin akan mengomentari para pejuang, “Daripada buat perang, mending waktu dan tenaganya digunakan buat bekerja, pasti akan lebih produktif dan bermanfaat. Senapan dan pelurunya juga mending dijual kiloan dan duitnya dipakai buat beli sawah atau buat modal ternak itik dan kalkun.”

Selamat Hari ABRI

| Saturday, 5 October 2024 |

agus mulyadi ABRI

Saya selalu sentimentil dengan tentara. Bagaimanapun, tak bisa tidak, saya hidup dengan iklim yang sangat militer. Kampung tempat tinggal saya berada persis di antara markas Akademi Militer (Akmil) dan perumahan tentara Panca Arga.

Kakek saya, Joseph Paiman, semasa hidupnya adalah seorang pegawai di Akademi Militer.

Bapak dan ibu saya menghidupi saya salah satunya melalui jalan yang “semi” militer. Bapak berjualan es kelapa muda di komplek lapangan tembak yang sering digunakan sebagai tempat latihan para prajurit angkatan darat. Sementara ibu saya menjadi buruh cuci di salah satu rumah seorang tentara berpangkat kapten bernama Pak Gana.

Saya sangat militer. Saya sering bermain di lapangan perumahan tentara. Skill sepakbola saya yang dulu agak lumayan itu ditempa di sana.

Melihat tank bukan sesuatu yang baru bagi saya seperti anak-anak lain yang bermimpi naik tank hanya saat momen karyawisata di museum militer. Ketika anak-anak kecil lain bermain memutar gasing, saya sudah bermain memutar moncong tank Amphibi PT-76 buatan Soviet, nyaris setiap pekan.

Mencuri buah di komplek perumahan tentara? Itu sudah jadi aktivitas sehari-hari. Dari mangga, sawo ijo, alpukat, kelapa muda, sampai tebu, saya sudah khatam. Itu cara yang saya dan kawan-kawan pilih untuk memacu adrenalin.

Saya sangat militer. Sejak kecil, sebelum subuh, saya sudah dibangunkan oleh suara terompet dan lagu-lagu perjuangan yang dimainkan dari kompleks Akmil sebelah kampung. Terompet itu terdengar lebih dulu ketimbang azan subuh. Itu artinya, secara musikal, saya bahkan lebih nasionalis-militeristik ketimbang nasionalis-relijius.

Saya sangat militer. Sampai-sampai dingklik atau kursi kecil di rumah saya adalah kotak kayu bekas wadah amunisi yang kami dapat dari Akmil.

Bayangkan, bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat di Komisi I DPR itu mungkin sudah puluhan kali duduk di kursi senayan membahas alutsista. Sedangkan saya yang kurang terhormat ini sudah sejak lama menduduki langsung alutsistanya.

Saya sangat militer. Bahkan sprei kasur saya dulu adalah sprei berkelir putih berlogo Akmil, lungsuran dari juragan emak saya. Ketika jutaan pemuda berbadan tegap berharap diterima Akademi Militer, saya yang kurus ceking ini sudah menidurinya.

Saya sangat militer. Sampai-sampai, saya disunat melalui program sunat korsa berbasis kolektif militer alias sunat massal dalam rangka hari jadi ABRI. Hasil sunatnya tokcer, dorengnya khas malvinas, gerak-geriknya lincah dan trengginas. Bentuk kepalanya serupa baret. Kalau dengar musik “terpesona” sedikit saja, niscaya dia akan auto glidik dan menggeliat

Saya disunat oleh dokter militer, di dalam komplek Akademi Militer, lepas perbannya pun di klinik kesehatan militer. Dan karena itu, secara teknis, saya memang masyarakat sipil, tetapi burung saya burung militer.

Maka, hari ini, 5 Oktober, adalah hari yang harus saya rayakan. Ini hari ABRI. Hari penting. Sebagai lelaki sipil dengan darah ketentaraan yang sangat kental, saya dengan penuh sukacita ikut berbahagia dalam merayakan hari ulang tahun ABRI ini.

Dan di hari yang bahagia ini, tentu tak ada kata lain yang lebih penting untuk saya sampaikan, selain Jayalah tentara Indonesia.

Jayalah tentara Indonesia. Berlatihlah keras di dalam barak, dan bersikap lembutlah di luar barak. Jadilah pelindung untuk rakyat, jangan kau gebuk rakyatmu sendiri.

Jayalah tentara Indonesia. Jangan kau popor pipi rakyat, sebab senapanmu itu dibeli dari patungan uang mereka.

Jayalah ABRI-ku. Jayalah tentaraku. Selamanya, kau adalah anak kandung rakyat. Maka, muliakanlah orang tuamu.

Jangan kau jadi durhaka.

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger