Rasanya tak pernah terfikir saya bisa bertemu bahkan kenal dengan sosok Puthut EA. Sosok yang ketika namanya anda ketikkan di kotak pencarian Google, maka itu akan menghantarkan anda ke sebuah laman Wikipedia. Dan menurut analisa dangkal saya, sosok yang profilnya bisa sampai masuk di Wikipedia dengan uraian profil yang begitu rinci, tentulah bukan orang biasa. Dan memang begitulah adanya.
Sejauh yang saya tahu, Mas Puthut ini adalah seorang Cerpenis, titik. Walaupun nyatanya, yang bersangkutan juga kerap menulis esai, naskah drama, ataupun novel. Sedangkan di Wikipedia beliau dideskripsikan sebagai seorang sastrawan. yang mana yang bersangkutan sendiri justru kerap menolak saat disebut sebagai sastrawan. Ah, Mungkin maunya Sastrawati.
Jujur, Saya memang bukan seorang militan pencinta cerpen, namun nama Puthut EA jelas tak asing di mata saya. Karena memang mas Puthut EA ini cerpennya sering naik cetak di Berbagai media. Di salah satu blog pengkliping cerpen-cerpen Kompas, Nama Puthut EA bahkan bersanding dengan Agus Noor, Martin Aleida, Triyanto Triwikromo, serta Yanusa Nugroho sebagai cerpenis top yang cerpen-nya sangat sering naik cetak di Koran Kompas.
Pertemuan saya dengan Mas Puthut terjadi begitu saja. Tanpa proses pengawalan protokoler yang kaku dan protap. Kami berdua tahu sosok masing-masing lewat twiter, sungguhpun waktu itu saya belum tahu jelas bagaimana rupa sosoknya, karena Mas Puthut memang tidak mencantumkan potret wajahnya sebagai avatar twitternya.
Dan suatu saat ketika saya berkunjung ke Jogja, beliau menawari saya untuk mampir untuk sekedar ngobrol dan ngopi bareng. Lalu di sebuah kedai kopi di pinggiran kota Jogja, akhirnya kami bertemu. Yah, begitulah awal perjumpaan kami.
Jujur, Setelah membaca beberapa cerpen-cerpen-nya (yang rata-rata menceritakan tentang asmara, kenelangsaan, dan kegelisahan hidup), tentu saya punya ekspektasi tersendiri terhadap sosok Mas Puthut ini, saya mengira sosok mas Puthut ini adalah sosok misterius dan sangar, minimal setara Limbad lah.
Maka ketika Tuhan memperkenankan saya untuk bertemu dengan Mas Puthut di Jogja waktu itu, barulah saya tahu bahwa ekspektasi saya terhadap sosok mas Puthut ini salah besar. Sosoknya ternyata kalem cenderung unyu. Sama sekali tak ada cambang, kumis, maupun jenggot, rambutnya pun tak gondrong. Sangat tidak sastrawan. Kalau saja parameter kesuksesan seorang sastrawan dinilai berdasarkan penampilan. Maka saya berani mengatakan bahwa mas Puthut adalah sastrawan gagal Total. Untunglah kebiasaannya dalam menyeruput kopi hitam bisa menjadi sedikit penegas eksistensi-nya sebagai seorang sastrawan.
Tapi mungkin, inilah hukum seni, Karya yang gahar tak selalu keluar dari sosok yang gahar pula. Dan Mas Puthut membuktikannya. Dari tangannya, lahir ratusan cerpen mempesona nan indah yang sanggup menyihir setiap pembacanya. Kalau diibaratkan jaman pendekar, mungkin beliau ini adalah Arya Dwi Pangga, yang dengan kekaleman sosoknya namun bisa merangkai kata-kata yang dahsyat.
Oh ya, Selain pandai merangkai kata, kelebihan lain yang dimimiki oleh mas Puthut ini adalah bloboh. Beliau ini hobi sekali nraktir, baik itu nraktir makan ataupun nraktir ngopi.
Maka tatkala beberapa kali saya berkunjung ke Padepokan beliau, saya selalu saja diajak ke tempat makan yang menurut beliau enak, dan sayapun kemudian ditraktir makan atau ngopi. Kali terakhir saya malah tak hanya ditraktir makan dan ngopi, tapi juga ditraktir nonton. Hayo, kurang bloboh bagaimana beliau?. Ah, beruntung sekali saya bisa mengenal mas Puthut ini.
Keblobohan mas Puthut rupanya tak berhenti sampai disitu, karena baru-baru ini, saya mendapatkan bingkisan berupa tiga buah buku dari Mas Puthut. Tiga buku ini bukanlah buku biasa, tiga buku yang sangat spesial (tapi tanpa telor lho ya), karena ketiganya adalah buku yang sengaja diterbitkan untuk memperingati 15 tahun mas Puthut berkarya dalam dunia kepenulisan. Ketiga buku ini sendiri sudah dilaunching pada pertengahan bulan Maret ini.
Adalah Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta, Drama itu Berkisah Terlalu Jauh, dan Mengantar dari Luar. Tiga buah buku yang diberikan kepada saya sebagai bingkisan. Dua buku pertama adalah kumpulan Cerpen mas Puthut yang memang dikhususonkan untuk tema Asmara dan Sosial. Sedangkan judul yang saya sebut terakhir adalah kumpulan esai yang disusun dengan sangat peka dan manis oleh Puthut EA layaknya cerpen yang biasa ia tulis.
Sebuah usaha menulis surat cinta. Buku setebal 180 halaman ini benar-benar cocok bagi anda para penggemar cerpen romansa. Buku ini menampilkan 15 cerpen bertema asmara. Namun jelas bukan Puthut EA jika hanya bercerita melulu soal asmara. Puthut EA dengan pandai memasukan banyak sisi kenelangsaan dan kepahitan. Gaya bertuturnya pun tak selalu romantis, karena Puthut acap kali memasukan juga gaya tutur yang agak vulgar, namun jelas tak sebinal stensilan. Cerpen legendaris Sambal keluarga juga masuk lho dalam salah satu dari lima belas judul yang ada di dalam kumcer ini.
Drama itu Berkisah Terlalu Jauh. Kalaulah anda adalah penggemar cerpen bergidik, maka buku setebal 184 halaman ini rasanya harus masuk dalam ceklist belanja anda. Sekali lagi, anda akan disuguhkan dengan 15 cerpen berkualitas ala Puthut EA, namun kali ini temanya bukan lagi asmara, melainkan tragedi kemanusiaan. Dalam buku ini, Puthut EA mengajak kita untuk menyelami kisah-kisah pilu dalam tragedi kemanusiaan, mengungkap sisi gelap sebuah rezim, bahkan sampai soal kematian. Buku ini benar-benar menjadi ajang pamer bagi Puthut untuk menunjukkan spesialisasinya sebagai pembuat cerpen kelam. Dan ya, tentu ada beberapa judul legendaris dari 15 judul yang ada dalam cerpen ini. Dan Cerpen Koh Su menjadi salah satunya.
Mengantar dari Luar. Saya tak bisa bercerita banyak tentang buku yang satu ini, karena saya sendiri belum juga usai membaca keseluruhan buku setebal 534 halaman ini. Tapi yang jelas, kalau berkaca pada kata pengantarnya, dalam buku ini, ada banyak sekali Esai rasa fiksi yang renyah untuk dinikmati. Dari 34 esai yang disajikan, baru satu judul saja yang sudah saya baca, yaitu Hikayat Negeri Tembakau. Itupun karena memang esai ini bercerita tentang tokoh besar dari Magelang (tanah kelahiran saya), yaitu Oei Hong Djien, sehingga saya serasa punya beban moral untuk membacanya terlebih dahulu ketimbang esai-esai yang lain.
Hhh, pada akhirnya, melalui artikel ini, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih pada mas Puthut EA yang kemarin sudah mentraktir saya nonton di XXI (sumpah, itu pertama kalinya saya nonton bioskop di Jogja), mentraktir ngopi, dan yang paling penting karena sudah memberikan bingkisan 3 buku istimewa ini.
Matur suwun lho kang, Jogo kesehatan, Eling tensimu, kae pemean'e dintasi dhisik.
NB : Ketiga buku ini bisa sampeyan dapatkan di @JualBukuSastra, monggo kalau sampeyan berminat.
Wah beruntung bgt mas agus, bs kenalan sama cerpenis terkenal.. Mas agus minta dibikinin cerpen jg donkk berdasar profil diri mas agus..ato mas agus bikin cerpen juga, toh mas agus pinter nulis, humoris dan segar. Kalo bole usul judul cerpennya "tapak nilas pria jomblo yang terhormat"
ReplyDeleteWooo, kalau itu, tunggu saja tanggal mainnya mbakyu... hehe
Deletenek skocritamu kwi gus, kunci suksese mas Puthut EA ki amergo bloboh, yen kowe arep tambah sukses buku telu kwi wewehno aku gus
ReplyDeleteBener kui kang, ketoke ben sukses ki resep'e yo blobih kuwi mau, tapi nek bloboh'e ro sampeyan ketoke ra manjur... wkwkwkw
Deletekali ini analisis bodohmu salah gus :P
DeleteTep kowe kudu melu bloboh pisan mas :)
ReplyDeleteWaiyotentu....
Deletekapan rabi mas :p
ReplyDeleteMeh rabi karo sopo? eh maksude meh rabi karo opo?
Deletewah, selamat ms. jan keren tenan to :D
ReplyDeletemaaf mas Agus mau nanya, karya paling terkenal dari mas Puthut apa ya mas?
ReplyDeletetrik yang jitu untuk merekrut jadi redaktur mojok. hhahaha
ReplyDelete