Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Tentang Catatan Ramadhan Blogger Jomblo

| Saturday, 28 June 2014 |

Halo? piye kabare? seh penak jamane Tazos tho?

Pembaca blog "Agus Mulyadi Njaluk Rabi" sekalian. Semoga sampeyan semua senantiasa berada dalam lindungan dan keberkahan Alloh SWT.

Sederek sedulur, Melalui postingan yang ndak penting ini, saya ingin memberitahukan kabar, bahwasanya selama ramadhan ini, Saya akan hadir menyapa sampeyan semua di Kanal "Catatan Ramadhan Blogger Jomblo" di Kompas Ramadhan.

Kanal ini berisi catatan dan celotehan-celotehan saya, persis seperti postingan-postingan saya di blog ini. Bedanya, di kanal "Catatan Ramadhan Blogger Jomblo" ini, saya akan lebih banyak menuliskan tentang kisah pengalaman, catatan, maupun esai ringan seputar Bulan Ramadhan.

Jadi, sambil menunggu waktu buka puasa, silahkan baca tulisan-tulisan saya. Saya ndak menjamin tulisan-tulisan saya bakal lucu dan mampu menghibur anda semuanya. Tapi yang pasti, saya akan berusaha untuk membuat artikel yang bagus dan semenarik mungkin. Untuk hasilnya, saya pasrahkan pada Gusti Alloh..

Sekian pemberitahuan yang ndak penting ini. Atas kurang dan lebihnya, saya mohon maaf.

Salam Jomblo, Salam Prihatin.

Agus Mulyadi, Blogger dan Lapendoz

Efek Wagu Bungkus Rokok Bergambar Seram

| Wednesday, 25 June 2014 |

Halo mbas mbak? Sudah tahu belum, kalau mulai hari ini, 24 Juni 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 28 resmi diterapkan. Aturan tersebut mewajibkan para produsen rokok menggunakan gambar bahaya merokok pada bungkus rokok dengan harapan dapat mengurangi konsumsi rokok.

Gambar-gambar efek merokok tersebut konon masuk dalam kategori DP alias disturbing picture alias menyeramkan bin nggegirisi.

Setidaknya, ada lima gambar efek merokok yang dipilih oleh pemerintah, antara lain adalah gambar kanker mulut, gambar orang merokok dengan asap membentuk tengkorak, gambar orang merokok dengan anak di dekatnya, gambar kanker tenggorokan, dan gambar paru-paru yang menghitam akibat penyakit kanker. Alhamdulillah, gambar impotensi tidak diikutsertakan.

Bungkus Rokok
Gambar Bungkus Rokok (foto oleh: Eko Susanto)

Pencantuman gambar efek merokok di kemasan rokok ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah perokok, khususnya perokok pemula. Di beberapa negara yang sudah menerapkan peraturan ini, konon mampu mengurangi jumlah perokok secara signifikan.

Hhh, semoga mbak-mbak SPG rokok di luar sana dikuatkan mentalnya.

Iseng-iseng, saya ingin mengulik beberapa kemungkinan efek pencantuman gambar seram pada kemasan rokok ini. Dan berikut adalah beberapa hasil penelitian asal-asalan saya:

Perokok melarat tetap berjaya.
Bisa dipastikan, para perokok melarat tidak akan terlalu terkena imbas besar dari aturan gambar kemasan rokok seram ini. Lha gimana mau lihat gambar seram di kemasan rokoknya, lha wong beli rokoknya saja ngecer. Selama gambar seram hanya terpampang di bungkus rokoknya, bukan pada batang rokok atau filternya, maka perokok melarat akan tetap selamat.

Terbukanya lapangan kerja baru
Dengan adanya pencantuman gambar seram di bungkus rokok ini, kemungkinan akan muncul lapangan-lapangan kerja baru, yah minimal jasa perantara beli rokok, atau jasa membuka kemasan rokok.

Mengurangi beban anak-anak
Sudah bukan rahasia lagi bahwasanya para perokok yang punya anak kecil sering sekali menyuruh anaknya untuk membeli rokok di warung, Nah, dengan adanya gambar seram di kemasan rokok ini, kemungkinan besar para perokok tak akan berani lagi menyuruh anaknya yang masih kecil untuk membeli rokok di warung. Tentu mereka tak mau anaknya yang masih kecil ketakutan dan jadi susah tidur gara-gara kepikiran dengan gambar seram di kemasan rokok.

Bungkus rokok dijadikan sebagai sarana ancaman
Ini masih kemungkinan saja. Namun menilik seramya gambar yang ada di kemasan bungkus rokok, besar kemungkinan akan ada beberapa orang tua yang menjadikannya sebagai ancaman untuk anak-anaknya yang masih kecil. Misalnya: "Jangan nangis terus, nanti ibu kasih bungkus rokok lho!!".

Gambar Rokok "asap tengkorak" akan jadi Favorit
Perlu diketahui, bahwa dari lima gambar seram yang ada di kemasan rokok, ada satu gambar yang punya tingkat keseraman paling rendah, yaitu gambar orang merokok dengan asap membentuk tengkorak. Karenanya besar kemungkinan rokok dengan gambar versi "asap tengkorak" ini akan lebih laku ketimbang rokok bergambar seram lainnya. Jadi jangan heran jika nanti bakal ada pembeli yang nembung begini sama penjual rokok: "Mbak, Marlboro tengkorak satu bungkus!!"

Golongan pemuda tak terlalu terbebani
Ya, sejatinya gambar efek merokok yang teramat seram tadi bukanlah gambar yang cukup menakutkan untuk para pemuda jaman sekarang. Maklum lah, di jaman asmara ini, tak ada gambar yang lebih seram ketimbang foto mantan bersama pacar barunya. Untungnya, saya tak masuk dalam kategori pemuda ini, karena saya Bujangan, dan Bukan perokok.

Nah, pembaca, itulah sekelumit hasil pengamatan bodho saya tentang penerapan aturan pencantuman gambar efek merokok di bungkus rokok.

Barangkali sampeyan punya hipotesa sendiri? bisa lho di share di kolom komentar.

Mengapa Jokowi?

| Friday, 20 June 2014 |

Ini sebenarnya posting blog yang ndak terlalu penting. Saya terlalu terbawa arus blogger-blogger lain yang berani menuliskan alasan-alasan mengapa memilih salah satu dari calon presiden. Dan untuk hal ini, rasa-rasanya saya tak ingin ketinggalan.

Bagi pembaca blog ini maupun follower twitter dan kawan-kawan facebook saya, mungkin ada beberapa yang sudah tahu ke mana arah dukungan saya di pemilihan Capres-Cawapres tahun ini. Ya, Saya memang menjatuhkan pilihan untuk lebih mendukung Jokowi sebagai Presiden.

Beberapa kawan sempat menanyakan apa alasan saya mendukung Jokowi.

Perlu digarisbawahi, saya tidak mendukung Jokowi, melainkan lebih mendukung Jokowi. Tolong bedakan. Saya mendukung Jokowi maupun Prabowo, karena bagaimanapun, saya yakin, baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama punya visi yang baik untuk memajukan Indonesia. Namun karena saya harus memilih salah satu, saya memutuskan untuk lebih mendukung Jokowi.

Jokowi di Sawah

Kalau saya pribadi sih, sebenarnya lebih sreg kalo yang jadi Presiden itu Ahok dan wakilnya Ibu Risma. Sayangnya, keduanya ndak dicalonkan sama partai masing-masing.

Pemilihan presiden kali ini sejatinya mudah, karena kandidat yang bertarung hanya dua, sehingga secara teori gampangan, akan mudah bagi pemilih untuk menentukan pilihan.

Namun nyatanya, jumlah kandidat yang hanya mak cuplik ini ternyata justru membuat banyak orang kebingungan. Keduanya punya prestasi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Pun keduanya juga punya seabrek cela.

Bagi pendukung Jokowi, tentu sangat mudah untuk mencari cela dari seorang Prabowo, pun begitu sebaliknya, bagi pendukung Prabowo, sangat mudah untuk mencari cela seorang Jokowi. Kalau kandidat jagoannya punya prestasi disebutnya kebanggaan, tapi kalau calon lawan yang punya prestasi, disebutnya pencitraan. Ini mungkin sudah menjadi hukum alam dalam pemilu.

Saya bukan Pakdhe Blontank, blogger yang sudah bertahun-tahun mengenal dengan baik bagaimana sosok seorang Jokowi. Bukan pula Hazmi Srondol, blogger yang sudah berkali-kali ketemu langsung dan berdiskusi dengan Prabowo. Saya hanya blogger tanggung yang kurang piknik dan sama sekali belum pernah berdiskusi, mengenal, bahkan menatap wajah Prabowo atau Jokowi secara langsung. Maka, dengan posisi yang sedemikian buta tersebut, saya jelas hanya bisa melihat profil, kiprah, sepak terjang, prestasi, bahkan blunder keduanya melalui media, serta dari pandangan tokoh-tokoh yang saya anggap kompeten dan mumpuni. Di luar itu, saya hanya mengandalkan intuisi.

Memang berat untuk menentukan salah satu diantara dua macan Indonesia ini. Namun pada akhirnya memang saya lebih memilih Jokowi.

Saya kagum dengan sosok Jokowi yang begitu santun dan sederhana. Walaupun beliau agak plegak-pleguk kalau bicara, namun menurut saya, beliau cerdas dan Banyak akal dalam menyelesaikan berbagai solusi pemerintahan yang dia pimpin.

Di Surakarta, Jokowi berhasil membangun kota bengawan tersebut menjadi salah satu kota termaju di Indonesia. Tata kotanya begitu teratur, rapi, dan bersih. Kegiatan ekonomi makin meningkat. Geliat pariwisata tumbuh dengan begitu pesat dengan didukung puluhan agenda pertunjukan dan festival kesenian dan budaya tiap tahunnya. Surakarta pun sukses dibranding menjadi kota pariwisata, budaya, dan batik

Surakarta diubah menjadi kota metropolis yang arif. Kota ditata, namun Para pedagang kaki lima juga tetap diperhatikan. Semua orang tentu tahu cerita fantastis tentang bagaimana Jokowi dengan cemerlang berdiplomasi dengan para pedagang kaki lima yang menolak direlokasi. Ia mengajak para pedagang untuk makan bersama, diskusi, dan menawarkan solusi jitu untuk para padagang. Cara ini terbukti berhasil. Para pedagang merasa diuwongke (dimanusiakan), dan pada akhirya luluh.

Jokowi mampu mensterilkan kawasan Ngarsopuro menjadi kawasan citywalk yang nyaman, padahal sebelumnya, kawasan ini dikenal sebagai kawasan yang sumpek dan kumuh karena penuh dengan pedagang elektronik dan barang antik yang menggelar lapaknya di bahu Jalan. Jokowi memindahkan para pedagang tersebut ke Pasar Ngarsopuro. Bahu jalan yang ditinggalkan para pedagang tesebut kemudian diubah menjadi area pejalan yang nyaman dengan fasilitas internet gratis dan menjadi tempat nongkrong anak-anak muda.

Setali tiga uang dengan Ngarsopuro, kawasan jalan arteri Slamet Riyadi pun oleh Jokowi dirombak dan dikonsep agar bisa menjadi jalan utama dengan citywalk yang nyaman. Dan hasilnya, terciptalah citywalk yang teduh dan nyaman serta full dengan koneksi internet gratis. Beberapa waktu yang lalu, saya diajak kawan saya nongkrong di citywalk Jalan Slamet Riyadi ini, dan rasanya saya tak ragu untuk menyebut Citywalk ini sebagai citywalk terbaik yang pernah saya tongkrongi.

Satu lagi perubahan tata kota Surakarta ala Jokowi yang begitu kentara adalah Taman Banjarsari. Sebelum disentuh oleh Jokowi, Taman ini bahkan tak rupa taman, karena justru digunakan sebagai tempat mangkal ratusan pedagang loak. Oleh jokowi, taman ini kemudian dikembalikan fitrahnya. Ratusan pedagang direlokasi tanpa kekerasan. Pohon-pohon teduh ditanam, bangku-bangku serta beberapa wahana mainan pun dibangun.

Singkatnya, di bawah kepemimpinan Jokowi, Surakarta bisa dikatakan sukses.

Tak heran jika dalam pemilihan Walikota periode ke dua, Jokowi memperoleh lebih dari 90% suara masyarakat. Bukti nyata bahwa masyarakat Surakarta merasakan betul bagaimana perubahan besar yang berhasil dicapai oleh seorang Jokowi yang kurus dan berwajah kampungan itu.

Atas Keberhasilannya mengubah Surakarta dari kota yang banyak tindak kriminal menjadi pusat seni dan budaya, Jokowi pun diganjar penghargaan sebagai Walikota ketiga terbaik se dunia oleh The City Mayors Foundation.

Begitu Hijrah ke Jakarta, kompetensinya sebagai pemimpin pun kembali teruji. Bersama Ahok, Jokowi seolah menjelma menjadi Macan dingin yang mrantasi, Gaya blusukannya yang khas menjadikannya cepat populer di mata masyarakat.

Kebijakan-kebijakan kepemimpinannya terbukti mampu mengurangi kesemerawutan masalah-masalah birokrasi di Ibukota. Di bawah kepemimpinannya, e-Goverment benar-benar berjalan dengan optimal. Pelayanan masyarakat pun perlahan tapi pasti semakin menuju ke arah yang lebih baik.

Pasar, taman, waduk, satu per satu Jakarta diubah tata kotanya ke arah yang lebih baik. Sebuah rekam jejak yang jelas tentunya.

Prabowo?

Dia Revolusioner. Dia sosok luar biasa. Konsep ekonomi kerakyatan dan pemberdayaaan petani serta nelayan yang diusungnya adalah konsep yang brilian.

Dia pula sosok yang ikut menjadikan Jokowi sebagai sang panglima Ibukota. Konon, dulu Prabowo lah yang merayu Megawati agar bersedia mencalonkan Jokowi sebagai gubernur berpasangan dengan Ahok.

Prabowo adalah sosok ksatria. Semua orang tentu tahu, betapa ksatrianya ia saat pengumuman daftar nomor urut capres dan cawapres, dimana saat itu, ia berkeliling menyalami dan memberi penghormatan yang tinggi kepada Jokowi, Jusuf Kalla, bahkan kepada Megawati yang saat itu nampak begitu angkuh dan sombong karena tak ikut berdiri saat Prabowo berusaha menyalaminya.

Pun dalam dua edisi debat capres (dan cawapres), kita semua melihat dengan jelas beberapa kali Prabowo dengan besar hati mengakui, sependapat, dan mendukung program-program positif dari Kubu Jokowi, kebesaran hati yang justru tidak terlalu saya lihat pada sosok Jokowi. "Kalau memang program Pak Jokowi bagus, tentu saya harus mendukung!", begitu kata Prabowo.

Namun sayangnya, sebrilian apapun konsep-konsep yang ditawarkan prabowo, tetap saja ia belum punya pengalaman yang cukup. Inilah yang menjadi titik penting bagi saya untuk menentukan pilihan antara Prabowo dan Jokowi.

Jokowi sudah punya pengalaman memimpin yang cukup. Ia sudah terjun ke Lapangan. Ia berani menawarkan masa depan bermodalkan pengalaman masa lalunya.

Sedangkan Prabowo, nol. Ia sama sekali belum pernah menjabat sebagai kepala institusi wilayah sipil, entah itu sebagai kepala daerah atau sebagai pejabat. Karir kepemimpinannya hanya sebatas pada kepemimpinan militer.

Tentu sangat berbeda antara mengatur serdadu dengan mengatur sipil. Serdadu dilatih untuk disiplin, selalu siap dan patuh pada atasan (atau tepatnya, serdadu lain yang pangkatnya lebih tinggi). Sedangkan sipil, tentu tak bisa diatur semudah serdadu, sipil punya pilihan antara "nggih" atau "mboten", sedangkan serdadu pilihannya hanya satu: "siap laksanakan". Dalam dunia diplomasi sosial, kadang sipil lebih punya nilai perlawanan, sehingga lebih susah untuk diatur.

Jadi secara kepemimpinan, menurut saya Prabowo belum punya cukup berpengalaman.

Dan jelas, untuk ukuran negara dengan permasalahan yang begitu kompleks ini, tentu butuh pemimpin yang sudah berpengalaman. Dan Jokowi-lah yang menurut saya lebih tepat untuk dipilih.

Lha wong buat anak saja ndak boleh coba-coba je, apalagi untuk negara *efek iklan minyak kayu putih. Kalau sudah ada pemimpin yang programnya sudah terlaksana, buat apa pilih yang masih sekedar wacana.

Dan ya, setidaknya Jokowi tidak punya beban masa lalu.

Pada akhirnya, saya agaknya harus kembali menegaskan, bahwasanya saya lebih memilih Jokowi ketimbang Prabowo. Tapi sejujurnya, saya merasa masygul ketika tokoh Sebrilian Prabowo dan setulus Jokowi harus bertarung satu sama lain.

Semoga pilihan saya baik adanya. Dan untuk pendukung Prabowo, saya berdoa semoga pilihan anda juga baik adanya.

Yang penting kan Persatuan, kalau urusan presiden, itu nomor....

Jokowi dan Agus Mulyadi

Gambar dari Liputan6.com dan Kapanlagi.com

Vote Cover "Jomblo tapi Hafal Pancasila"

| Saturday, 14 June 2014 |

Seperti yang sudah saya tuliskan di blog ini sebelumnya, bahwasanya saya dalam waktu dekat ini akan menerbitkan buku Berjudul Jomblo tapi Hafal Pancasila. Nah, sekarang ini, buku tersebut alhamdulillah sudah hampir rampung, sudah memasuki tahap pemilihan cover.

Namun ternyata, justru inilah tahap yang menurut saya paling sulit, karena baik saya maupun pihak penerbit ternyata kesulitan untuk menentukan cover yang akan digunakan. Untuk itulah diambil keputusan bahwa cover buku saya akan diputuskan berdasarkan voting dari pembaca.

Untuk itulah, saya meminta bantuan kepada segenap pembaca blog ini untuk bisa ikut berpartisipasi dalam pemilihan cover buku saya yang pertama ini. Adapun pilihan covernya adalah:



Adapun ketentuannya adalah:

1. Vote dimulai dari Sabtu, 14 Juni (08.00) – Minggu, 15 Juni (22.30).
3. Vote menggunakan akun twitter
3. Format menjawabnya "Vote cover (nomor cover yang dipilih) #JombloTapiHafalPancasila"

Nantinya akan dipilih satu cover dengan jumlah vote terbanyak. Saya ndak bisa menjanjikan hadiah yang muluk-muluk atau wah untuk para voter, saya hanya bisa mendoakan kepada para voter yang ikut berpartisipasi agar dilapangkan rejekinya dan dilancarkan segala urusannya.

Insya Alloh, nanti untuk satu voter yang beruntung, saya menjanjikan satu buah buku Jomblo tapi Hafal Pancasila, tapi kelak, kalau sudah terbit.

Matur suwun mas mbak pembaca sekalian…

Salam jomblo, salam prihatin


UPDATE:
Setelah direkapitulasi, Cover yang terpilih adalah nomor 4, dan voter pemilih nomor 4 yang beruntung adalah akun @MentionSari. Hadiah satu buah buku akan segera dikirim ke alamat yang bersangkutan

Mari kita menjaga kemaluan kita

| Monday, 9 June 2014 |

Seorang kawan (sebut saja Sastro) pernah berkeluh kesah kepada saya tentang rasa penyesalannya karena sudah melepaskan keperjakaannya kepada wanita yang menurut dia seharusnya tak pantas menerimanya.

Wanita yang dimaksud Sastro itu memang dikenal nakal, pergaulannya buruk, mudah diajak ngamar, dan jelas, sering gonta-gonta pasangan. Lebih mirip piala bergilir.

"Kalau memang menurutmu dia ndak pantas menerima perjakamu, lantas kenapa kamu ngasih ke dia?" tanya saya.

"Lha mau bagaimana lagi, namanya juga pria, kalau sudah tinggi, apalagi ditambah mabuk, kadang susah mikir, ndak peduli keadaan, yang penting nikmat! dan yang pasti, karena kepepet, ndilalah pas sedang birahi, dia pas ada, dan dia juga ndak nolak waktu saya ajak", kilah Sastro dengan nada yang sedikit defensif.

"Trus kalau sudah begini, kamu nyesel ndak?"

"Yo jelas nyesel tho gus, nyesel banget, apalagi setelah perjakaku ilang, aku seolah jadi ndak peduli dengan pergaulan, prinsip 'sudah basah nyebur saja sekalian' selalu menjadi andalan!", jawab Sastro enteng, seakan tak ada rasa penyesalan, walaupun jawaban yang dia berikan sejatinya berisi penegasan penyesalan.

Sedikit banyak, saya paham dengan penyesalan si Sastro. Dalam kondisi STTB (Sangek Tak TerBendung), pria kerap kalap, tak bisa berfikir jernih. Saya jadi ingat dengan sebuah kelakar barat. Katanya, Organ paling penting bagi pria adalah otak dan penis, namun sayangnya, suplay darah yang ada tak cukup untuk menjalankan keduanya dalam waktu yang bersamaan.

Pria memang suka begitu. Susah mengendalikan diri, terlebih dalam urusan selangkangan. Apalagi setahu saya, sastro memang berada dalam kumparan pergaulan yang sangat bebas, pergaulan yang kerap menyepelekan urusan selangkangan.

Tak jauh beda dengan pergaulan anak muda jaman sekarang yang seolah terlalu abai dengan aturan-aturan sosial dan norma kesopanan.

Karenanya jangan heran jika di jaman sekarang banyak sekali kasus hamil duluan. Fenomena "nikah muda karena terlanjur isi" pun seakan sudah dianggap sebagai hal biasa. Kalau istilah jawanya, LKMD, alias Lamar Keri Meteng Dhisik.

Nyatanya, kebanyakan pria lebih menganggap wanita sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk ditaklukan, bukan untuk dijaga. Dan parahnya, banyak wanita yang justru kerap berharap agar bisa ditaklukkan. Mereka bukannya jual mahal, tapi justru memurahkan diri. Dan mengenakan busana minim yang menggoda adalah salah satu bukti nyatanya.

Pria kerap menggumbar nafsu, wanita kerap menggumbar aurat, dan setan kerap mengumbar godaan. Klop sudah. Sangat mendukung untuk terciptanya embrio-embrio baru.

Kalau sudah begini, maka iman lah yang menjadi benteng pertahanan terakhir untuk bisa mengendalikan nafsu. Pertahanan terakhir yang menjadi senjata utama dalam menjaga kemaluan.

Jangan anggap enteng urusan menjaga kemaluan, karena keutamannya begitu besar. Saking besarnya, Rosul bahkan sampai mengabarkannya sebagai salah satu perbuatan penjamin surga.

Rasululloh SAW bersabda: "Barangsiapa yang menjamin untukku bisa menjaga apa yang ada di antara dua janggutnya (mulut/lidah) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku menjamin surga untuknya." (HR. Al-Bukhari no. 6474)

Jujur, Menjaga kemaluan memanglah bukan hal yang ringan, bahkan cenderung sangat berat, terlebih di jaman yang serba penuh godaan ini. Tapi wajar lah kalau berat, lha wong hadiahnya pahala dan janji surga je. Coba kalau ringan, pasti hadiahnya cuma kipas angin atau piring cantik.

Nah, lewat artikel jelek ini, saya ingin sekali mengajak anda para pembaca yang masih perjaka dan perawan untuk terus senantiasa menjaga diri hingga tiba waktunya.

Untuk para pria, silahkan berikan keperjakaan anda dengan penuh cinta kepada istri sah anda. Dan untuk para wanita, silahkan jaga dan relakan keperawanan anda untuk sang suami tercinta. Kalau bisa sambil ndesah ya.

Eh, btw, saya masih perjaka lho... *Ra Takon Gus

Pertemuan dengan Editor Bentang Pustaka

| Tuesday, 3 June 2014 |

Menjadi penulis bukanlah cita-cita saya. Sedari kecil, saya memang punya sederet cita-cita, karena bagi saya, cita-cita adalah sesuatu yang bisa digonta-ganti sesuka hati. Tergantung sikon. Namun dari sekian banyak list cita-cita yang pernah saya patri, Penulis sama sekali tak masuk dalam hitungan.

Saya pernah bercita-cita menjadi ahli sejarah, pernah bercita-cita menjadi politisi, pernah bercita-cita menjadi petani, pernah bercita-cita menjadi pengusaha, bahkan pernah juga bercita-cita menjadi Brama Kumbara. Dan sekali lagi, sama sekali tak pernah terfikirkan untuk menjadi seorang penulis.

Perjalanan hiduplah yang pada akhirnya mengantarkan saya untuk menjadi seorang penulis. Yah, walaupun masih tingkat ecek-ecek.

Berawal dari sebuah kasus edit foto bareng artis, nama saya kemudian sempat meroket karena cerita insiden tersebut dimuat di berbagai portal berita ternama, bahkan sempat masuk di Merdeka.com dan Yahoo Indonesia. Dari situlah kemudian mulai banyak yang mengunjungi blog saya.

Lonjakan pengunjung di blog saya membengkak hebat, sempat tembus sampai 100 ribu pageviews dalam satu hari, padahal di hari biasa, paling mentok hanya 500 pageviews. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa menurut saya.

Banyak diantara mereka yang kemudian menyukai tulisan-tulisan saya di blog ini. Blog yang mulai saya bangun pada bulan mei 2013 ini pun akhirnya ikut melonjak namanya.



Artikel demi artikel yang saya buat alhamdulillah selalu mendapatkan respon yang cukup baik dari para pembaca, bahkan ada beberapa pembaca yang menyarankan saya untuk membukukan tulisan-tulisan saya. Waktu itu saya belum terlalu ngeh, maklum saja, Kecuali buku nikah, saya rasanya tak pernah punya orientasi khusus untuk membuat sebuah buku.

Tentu bukan tanpa alasan, karena setahu saya (sebagai orang awam), membuat buku adalah hal yang sangat sulit. Kita harus menulis naskah, mengirimkannya ke berbagai penerbit (yang entah itu dibaca atau tidak oleh penerbitnya), menunggu lama untuk mendapatkan kepastian diterima atau tidaknya naskah kita, proses revisi (kalau memang diterima), dan sederet usaha susah-payah lainnya.

Kalau mau jujur, blogger pun sebenarnya sudah termasuk kategori penulis, namun mungkin sudah menjadi hukum khalayak bahwasanya belum sah seorang penulis kalau tulisannya belum naik cetak dalam bentuk buku.

Pada akhirnya, kesempatan menjadi penulis pun datang menghampiri saya.

Adalah Bentang Pustaka, salah satu penerbit major asal Jogja yang kemudian menawari saya untuk membuat buku. Tawaran itu datang melalui email, dikirim langsung oleh editornya, Mbak Baiq Nadia Yunarthi, seorang editor perempuan yang belakangan baru saya tahu adalah seorang editor yang sangat gahol dan fangkeh, serta punya selera fashion yang cukup mumpuni :)

Tawaran kerjasama untuk membuat buku ini jelas tidak saya sia-siakan seperti saya menyia-nyiakan Briptu Eka. Saya sungguh beruntung, saya tak perlu bersusah-payah mengirimkan naskah ke banyak penerbit, karena sudah ada yang menawari. Nasib baik benar-benar sedang menaungi saya waktu itu.

Setelah terjadi tawar menawar singkat via email, akhirnya, pihak Bentang mengajak saya untuk bertemu langsung, mungkin komunikasi sekadar lewat email dianggap sebagai komunikasi semu. Mosok mau bikin buku kok komunikasinya LDR-an terus. Akhirnya janji untuk bertemu pun akhirnya dibuat.

Sebenarnya sih saya mau saja kalau harus disuruh ke Jogja, asal ongkos transportnya dibayari, hehehe. Eh ternyata malah orang Bentang-nya ngajak ketemu di Magelang. Hayo maknyus, bisa ngirit ongkos kalau gitu.

Mbak Nadia mengajak bertemu di Artos (Armada Town Square), ajakan yang langsung saya tolak mentah-mentah, maklum, saya ini paling anti sama Mall atau supermarket. Saya paling ngeri dan merasa wagu kalau harus masuk ke tempat ramai dengan penerangan lampu lebih dari 100 watt. Saya merasa minder, Soalnya ndak ada tampang borjuis sama sekali pada raut wajah saya. Jangankan kok mall, lha wong masuk Alfamart saja saya sering lepas sendal saking mindernya (oke skip, ini terlalu berlebihan).

Akhirnya saya mengajak bertemu di Voor de Tidar, sebuah warung makan bergaya kuno yang berlokasi di dekat Bukit Tidar. Dan Mbak Nadia pun setuju.

Tiba di hari yang sudah disepakati, Mbak Nadia pun akhirnya meluncur ke Magelang. Mbak Nadia datang bersama dua kawan sesama orang Bentang, Yang pertama adalah Mas Imam Risdiyanto, seorang pria paruh baya yang dikenal sebagai editor Laskar Pelangi, dan yang satu lagi adalah Mbak Avicenna Nindya, Orang Bentang yang punya jobdesk menemani penulis berkeliling promosi buku (Mau dong mbak saya ditemani #tsahhh).

Rombongan Bentang ini rupanya terlalu rajin, mereka sudah sampai di Depan warung makan Voor de Tidar, padahal saya masih di rumah, sedang mandi.

Saat masih asyik bergumul dengan gayung mandi, tiba-tiba saya dikagetkan dengan dering ponsel saya. Nampaknya telfon dari Mbak Nadia, katanya pertemuannya harus dipindah tempat, karena rupanya warung makan Voor de Tidar sedang tutup.

Pertemuan kami yang semula dijadwalkan di Voor de Tidar ini pun akhirnya gagal, maka jadilah Mbak Nadia kembali menawarkan alternatif tempat lain. Pilihan venue pun akhirnya jatuh di IniBaru, sebuah resto steak yang lokasinya tak terlalu jauh dari warung makan Voor de Tidar.

Saya pun mau tak mau mengiyakan, walaupun dalam hati saya tetap kurang setuju. Alasanya karena saya jarang makan steak (eh, malah ndak pernah sama sekali ding).

Saya baru berangkat dari rumah setelah kru bentang sampai di Resto IniBaru. Dari rumah saya mengendarai sepeda onthel, maklum lah, jarak rumah saya dengan resto IniBaru memang tak terlalu jauh, jadi daripada naik angkot, lebih baik naik sepeda, kan bisa ngirit dua ribu. Yah, setidaknya tidak naik naga Indosiar lah.



Sesampainya di Resto IniBaru, saya langsung menyapa kru Bentang Bentang yang sudah lebih dulu sampai (eh, saya lupa, saya yang nyapa duluan apa saya yang disapa ya?).

Tanpa basa-basi, Mas Imam langsung menyodori saya daftar menu makanan yang bisa dipesan, Mungkin beliau segera tahu bahwa dari bentuk mulut saya, saya adalah tipe pemakan yang agresif.

Saya bingung setengah mati, nama-nama menu makanannya barat semua, satu yang paling saya tahu hanya French fries (dan alhamdulillah saya tahu bahwa itu artinya kentang goreng, bukan Prancis goreng), sisanya blank alias nol puthul. Kalau saja ada menu rendang di resto tersebut, mungkin sudah langsung saya sawut.

Untung saja menu minumannya tak sebarat menu makanannya. Sudah banyak yang saya kenal, ada Es Jeruk, Susu coklat, Aneka Jus, dan sederet minuman populer konvensional lainnya.

Saya bisa dengan mudah memilih minuman, tapi tidak dengan menu makanan. Menu-menu makanan yang terlalu kulon ini sukses membuat remaja jelata seperti saya ini kebingungan.

Mengetahui saya begitu kebingungan memilih menu, mbak Nadia kemudian menyarankan saya untuk mencoba menu Steak terderloin. Ah, menu yang terdengar sangat hedonis dan flamboyan. Kelihatannya sangat asing dengan perut pribumi saya.

Pada akhirnya, saya hanya bisa manut saja, karena apapun saran dari wanita, biasanya itu adalah saran yang paling tepat. Bukankah Wanita selalu (sok) benar?. Saya hanya bisa berharap, semoga Si Terderloin ini rasanya sefantastis namanya.

Setelah saya memesan, barulah Mas Imam, Mbak Avicenna, dan Mbak Nadia memesan menu pilihan masing-masing. Agaknya mereka ingin terlebih dahulu mengetes tingkat selera makanan saya, atau mungkin, tingkat kemanutan saya.

"Kita ngobrolin bukunya sambil makan saja ya Gus!" kata mbak Nadia mencoba mengawali pembicaraan seputar pembuatan buku.

"Nggih mbak!" jawab saya singkat, walau saya sendiri masih beranggapan, bahwa ngobrol sambil makan itu hukumnya Ora Ilok.

Sembari menunggu pesanan makanan datang, kami ngobrol basa-basi seputar blog saya, tentang kasus edit foto saya, juga tentang kegiatan saya sehari-hari. Tak lupa juga, saya diberi tiga buku terbitan Bentang Pustaka, katanya sih untuk referensi penulisan.



Tak sampai sepuluh menit menunggu, makanan yang dipesan pun akhirnya datang. Saya dan mbak Avicenna pesan steak, sedangkan Mbak Nadia dan Mas Imam seingat saya hanya memesan Kentang Goreng, kemungkinannya dua, antara tidak doyan steak, atau memang sedang ingin ngirit.

Disinilah saya mulai bingung dan grogi setengah mati. Bayangkan, biasanya untuk urusan perdagingan, saya selalu makan dengan cara ksatria, alias tangan kosong. Lah kali ini skenario berkata lain. Saya harus makan dengan bantuan garpu dan pisau (sungguh, ini alat bantu yang sangat tidak membantu). Saya benar-benar kagok makan dengan garpu dan pisau.

Saya mencoba sebisanya, separlente-parlentenya. Nampak beberapa karyawan resto memperhatikan saya. Keringat agak dingin perlahan mulai turun. Sayapun mencoba meminta tanggapan tentang cara makan saya pada mas Imam.

"Mas, ini cara makan saya sudah bener tho?", tanya saya dengan sedikit berbisik.

Dan ternyata justru dijawab dengan jawaban yang senewen, "Ya asal kamu makannya masih pake mulut, Insha Alloh tidak ada yang salah!", jawab Mas Imam sambil tersenyum dengan senyuman yang dimanis-maniskan. Bajilak setan alas...

Untung saja, kekagokan itu tak berlangsung terlalu lama. Saya mulai bisa beradaptasi dengan steak tersebut. Beberapa kali trial and error rupanya membuat saya cukup terlatih dan luwes menggunakan garpu dan pisau.

Dan alhamdulillah, rasa si Steak terderloin itu cukup lezat. Yah, minimal cocok lah dengan reputasi namanya yang sangat wah. Dagingnya lembut, empuk, sausnya campuran antara manis gurih dan pedas. Jika parameter penilaian rasanya antara 1 sampai 10, maka saya tak segan memberinya nilai 8 (nilai 10 masih tetap dipegang oleh sayur kulit melinjo buatan emak saya).

Sambil menyantap hidangan, kami berempat membicarakan tentang teknis kerjasama penulisan buku antara saya dan Bentang Pustaka. Tentang kontrak, naskah, serta hal-ihwal lainnya terkait kepenulisan.

Obrolan pun akhirnya selesai seiring dengan habisnya makanan di depan kami. Obrolan setengah jam itu membuahkan beberapa kesepakatan tentang kerjasama pembuatan buku antara saya dan bentang Pustaka.

Setelah dinilai cukup, Kami pun kemudian bersiap untuk berkemas.

Dan seperti biasa, sebelum meninggalkan medan laga, saya berlagak merogoh kocek biar dikira mau membayar makanan saya, padahal dalam hati saya berharap sekali untuk dibayari.

Ulam pun tiba, begitu Mbak Nadia melihat saya merogoh saku, diapun langsung menyela: "Mas Agus, kita aja yang bayar mas, wong kita yang ngajak kok!".

Alhamdulillah, Mbak Nadia termasuk perempuan yang responsif.

"Nggak usah mbak, saya bayar sendiri aja mbak!", Kata saya memaksa, padahal dalam hati, saya berkata: "Yo silahkan saja mbak kalau mau dibayari, kan lumayan, saya jadi ngirit!".

Saya terus memaksa untuk membayar makanan saya sendiri, Saya sadar, Ibarat jurus layang-layang, ini adalah salah satu diplomasi menjaga harga diri yang paling tokcer.

Tarik ulur pun terjadi, setelah beberapa kali adu debat, akhirnya saya mengalah, "ya sudah mbak kalau memang mau dibayari, matursuwun!", kata saya pasrah penuh kemenangan. Yah, setidaknya kru Bentang tahu, bahwa saya bukanlah pria gampangan.

Setelah pertemuan tersebut. Giliran saya yang beberapa kali mampir ke Kantor Bentang di Jogja untuk membicarakan masalah progress buku saya.

Kini, sudah hampir setengah tahun berlalu sejak pertemuan saya pertama kali dengan editor Bentang di Resto IniBaru.

Proses penulisan buku saya pun kini sudah rampung. Tinggal menunggu proses pemilihan Cover. Doakan semoga bisa segera terbit dalam waktu dekat ini.


NB: Artikel ini terinspirasi dari Tulisan Kevin Anggara. Kevin adalah blogger sekaligus penulis buku Student Guidebook for Dummies. Dalam salah satu postingan di blog-nya, ia menuliskan kisah pengalamannya bertemu dengan editor Bukune, penerbit yang menerbitkan buku Student Guidebook for Dummies.

Pertama kalinya nonton film di Empire XXI Jogja

| Sunday, 1 June 2014 |

Ini sebenarnya cerita lama yang sudah agak basi (walau belum cukup berjamur), sudah pernah saya tulis, namun baru separuh, masih bentuk draft, belum saya selesaikan karena sudah keburu hilang momen-nya.

Tapi karena saya beranggapan bahwa rasanya sayang kalau tulisan yang separuh itu menguap begitu saja, maka saya putuskan untuk tetap meneruskan dan mempublikasikannya di blog yang senewen ini.

Selepas lulus SMA tahun 2009, saya merantau ke Jogja untuk bekerja, nasib membawa saya untuk malakoni peran profesi yang kelak akan sangat berpengaruh pada kehidupan saya selanjutnya: penjaga warnet.

Adalah Shona net, sebuah warnet sederhana dan rajin menabung yang berlokasi persis di depan GOR UNY yang menjadi tempat petualangan singgah saya selama di Jogja.

Saya tinggal cukup lama di Jogja, hampir satu setengah tahun. Waktu yang sebenarnya lumayan lama untuk ukuran pendatang yang bukan mahasiswa.

Namun naas rasanya, selama satu setengah tahun itu, saya sama sekali belum pernah menonton film di Empire XXI Jogja. Padahal lokasinya sangat dekat dengan tempat kerja saya, sekitar 20 menit berjalan kaki.

Empire XXI Boleh dibilang, Empire XXI adalah salah satu lambang kemetropolisan di bumi Mataram. Karenanya agak menyesal juga bagi saya karena belum pernah menyambangi tempat yang satu ini. Maklum, sewaktu saya kerja di Jogja. tak banyak kawan yang bisa saya ajak untuk menemani saya nonton. Kekasih pun saat itu saya belum punya (dan sampai sekarang pun sebenarnya masih sama).

Kesempatan menonton film di Empire XXI Jogja ini justru datang 3 tahun setelah saya meninggalkan Jogja. Tepatnya hari sabtu, 15 Maret lalu. Momen yang pas dan syahdu di sebuah malam minggu kelabu.

Adalah Mas Puthut EA beserta kru KBEA (Klinik Buku EA), yang mau berbaik hati mengajak saya untuk nonton film di gedong film yang cetar membahenol ini. Katanya sih traktiran syukuran dalam rangka peluncuran tiga buku peringatan 15 tahun Puthut EA berkarya (dua buku kumpulan cerpen dan satu buku kumpulan esai, artikel tentang tiga buku ini bisa dibaca disini).

Agus dan Puthut EA Antri tiket

Total, rombongan kami berjumlah enam orang. Ada Mas Puthut, mas Eko Susanto, Nody Arizona, Danu Saputra, Arman Dhani, dan saya sendiri (Maaf, Raisa ndak jadi ikut).

Karena ini sifatnya syukuran dan gratisan, Jadi jangan heran jika selama proses antrian pembelian tiket saya berkali-kali 'dieksploitasi' untuk terus berfoto menggunakan properti 3 buku-nya mas Puthut EA. Hehehe, ampun kang, pokoke aku bocahmu... (Cerpenis kok imperialis, hehe)

Agus dan mas Puthut EA

Sebelum kami masuk ke teater, beberapa dari kami terlebih dahulu membeli popcorn dan juga minuman sebagai pengisi kegersangan mulut selama nanti di dalam.

Saya menolak dibelikan minuman, soalnya kalau minum sebelum nonton, takutnya di dalam teater nanti saya malah kebelet kencing. Kan saya belum tahu akan sedingin apa AC yang ada di dalam ruang teater. Maklum lah, selain tengkulak dan rentenir, musuh utama orang desa adalah AC pendingin.

Bersama kawan-kawan KBEA

Film yang kami tonton waktu itu adalah Film "HER". Film drama yang mendapatkan banyak sekali penghargaan dari berbagai festival film internasional. Posternya saja sampai penuh dengan logo biji gandum :).

Itu pertama kalinya saya nonton film barat di bioskop. Tentu saya gugup, Saya bahkan sampai bertanya pada mas puthut, apakah nanti film-nya ada subtitle-nya? pertanyaan ndeso yang kemudian hanya dijawab "nanti lihat saja" oleh mas Puthut sambil nyengir penuh ejekan.

Ruang teater waktu itu lumayan lengang, banyak kursi kosong. Mungkin hanya separoh yang terisi. Maklum saja, HER bukan termasuk film yang booming di Indonesia, sungguhpun film ini punya banyak sekali penghargaan.

Mengambil setting di tahun 2025, Film ini bercerita tentang Theodore (Joaquin Phoenix), seorang pria setengah baya yang berada di ambang perceraian dengan istrinya. Ia kemudian jatuh cinta dengan OS bernama Samantha yang notabene adalah wanita virtual. Ia menganggap Samantha sebagai sosok yang pengertian dan mampu memahami perasaan hatinya. (Please, saya ingin menceritakan tentang pengalaman saya nonton film ini, bukan sinopsis lengkapnya).

Overall, saya suka dengan film ini. Terutama pada tokoh utamanya, Theodore. Kesannya laki banget, tapi sisi lembutnya tetap ada. Kumisnya tebal. Kalau giginya agak mrongos, mungkin lebih mirip Freddy Mercury (Kalau mrongosnya banget, mungkin mirip saya).

Jujur saja, Sepanjang saya hidup (sampai postingan ini dibuat), saya baru merasakan nonton film di gedong film sebanyak tiga kali, ya, hanya tiga kali). Jumlah yang sangat minim dan sedikit, bahkan lebih sedikit dari jumlah sila Pancasila.

Pengalaman saya nonton di bioskop pertama kali adalah waktu saya masih SMP, film-nya waktu itu kalau ndak salah 'Ungu Violet'. Sedangkan kali kedua juga saat saya masih SMP, film-nya Kuntilanak, film horor yang jadi salah satu film terlaris pada masanya. Waktu itu, bioskop-nya masih bioskop jadul, yang kalau mau ke bangku masing-masing harus diantar sama petugas dengan diterangi senter. Sangat menghayati semangat listrik masuk desa.

Nah, Nonton film di Empire XXI Jogja ini adalah pengalaman saya yang ketiga kalinya.

Ini adalah pengalaman yang sangat mengesankan bagi saya. Karenanya sebelum bertolak, saya sengaja menyimpan potongan karcis masuk teater. Lumayanlah, bisa buat ajang pamer prestis, dan bekal cerita untuk anak cucu. Ndeso Rapopo, sing penting apal pancasila.

Karcis Empire XXI

Pokoke, matursuwun Mas Puthut, matur suwun Kawan-kawan KBEA... Semoga kalian tetap syahdu.

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger