Pemandangan mengharukan yang terpaksa harus saya hadapi saat pulang dari Surabaya menumpang kereta malam Sancaka.
Saya satu gerbong dengan pasangan suami istri dan seorang putrinya yang saya taksir berusia empat atau lima tahun. Keluarga kecil nan bahagia ini rencananya akan turun di Solo.
Sang suami duduk di sebelah saya, sedangkan si istri bersama anaknya duduk di baris sebelah kursi saya.
Sekitar jam sembilan kurang seperempat, si anak agaknya sudah tak sanggup lagi berduel dengan kantuk yang mulai beringas menyerang membabi-buta. Maka, tertidurlah si anak di kursinya. Posisinya sangat tidak nyaman, kepalanya harus bersandar di bantalan sisi kursi dan dengan tubuh yang harus ditekuk bak udang ebi.
Mungkin tak tega dengan ketidaknyamanan tidur si anak, si ibu kemudian bangkit dan mengosongkan kursi miliknya. diselonjorkannya kaki si kecil agar posisi tidurnya nyaman. Lalu di sepanjang perjalanan, si Ibu berdiri di depan kursi sambil terus menatap wajah pulas anaknya. Melihat sang Istri berdiri, si suami pun ikut bangkit, menemani istrinya berdiri.
Pasangan suami-istri ini merelakan kenyamanan duduknya dan lebih memilih berdiri, semata demi tidur yang nyaman dan jenak untuk si kecil, setidaknya sampai nanti kereta tiba di tujuan.
Entah mengapa, adegan di depan mata yang sebenarnya biasa saja ini langsung membuat saya mak-tretes ingat sama emak dan bapak di rumah.
Ingat sama emak yang selalu saja merawat kamar loteng saya dengan perawatan yang paling paripurna, sehingga setiap saya pulang, kamar saya selalu rapi dan layak huni.
Ingat sama bapak yang selalu selalu giat menanyakan kabar lewat pesan singkat jika di akhir pekan saya tidak pulang ke Magelang.
Saya melongok ke luar jendela. Rasanya tidak hujan, toh kalaupun hujan, tentu airnya tak akan tempyas sampai ke dalam. Tapi entah kenapa, mata ini semakin basah saja.
Sungguh, ingin rasanya saya mengantikan mereka berdiri. Tapi setelah saya pikir-pikir, kelihatannya kok lebih enak duduk daripada berdiri... lagian, bukan anak saya ini. Hahaha 😂😂😂
Sungguh 'mengharukan' Mas Agus crita sampeyan ini. Tapi bagian akhir crita sukses membuat saya mesam-mesem sendiri.... hehemmm..:)
ReplyDeletelha intinnya ki justru yg bagian terakhir itu je... hahaha
DeleteGek tak pikir wingin, kok orak ditulis neng blog wae iki. Ternyata ditulis akhire. hahahahha
ReplyDeletelha nek postingan facebook'e dhowo, biasane langsung tak tarik ng blog ndan...
DeleteAda tisu gak? MAu ngelap air mata nih :)
ReplyDeletewah, tissu-nya kosong mas... kanebo, mau?
DeleteSampai Ngiler aku bacanya mas Agus.
ReplyDelete😁😁😁
DeleteMengharukan sekali Mas Agus. Tapi terakhirnya itu loh yang bikin gemes gimana gitu.
ReplyDeleteItu poin pentingnya... hahaha
Deleteaku pernah mengalami hal seperti ini, ketika naik mutiara timur. anak ku ngantuk, terpaksa aku berdiri cari kursi lain. istri ama anak aku biarkan tidur :D
ReplyDeletewah, benar-benar suami siaga tenan...
DeleteSing sabar yo mas, nek dirasakrasakke ncen mbedhedheg rasane, gara gara sampeyan duduk dikursi samping si Bapak, si ibu enggan duduk di tempat duduk si Bapak. Hehehe..
ReplyDeleteSng berdiri iku sopo. Sharusnya yg muda ngalah memberi kesempatan pd orang lain
ReplyDeleteenak saja, saya sudah mahal-mahal beli tiket, masak harus berdiri... *tertawa jahat*
Deletedan pada akhirnya si agus lah yang ternyata menangis, hakhakhakhak, gembeng kowe lek.
ReplyDeletemelihat fenomena tersebut secara langsung di depan mata, ketok'e wi yo sekalian kode kanggo kowe mas gus, kode nyusul untuk lekas berpasangan dalam kehalalan, hehehe...
ReplyDeleteAsli, inspiratif banget ceritanya, kita jadi tahu faham tentang kasih kedua orang tua kita
ReplyDeleteaku yo tak melu nangis
ReplyDeleteHei siapa yang menaruh bawang di sini?
ReplyDeletegus gus kepriben
ReplyDeletehati luluh namun otak keras
ReplyDeletekadang hati suka meringis namun nafsu selalu lebih bede egonya
ReplyDeleteBetapa orangtua Mas Agus sangat perhatian dan mencintai Mas Agus, hiks... aku terharu, Mas :)
ReplyDeleteHahaha, akhirnya ada juga yang ketularan terharu...
Deletejls mengharukan dan salut pd dedikasi orang tua pada anaknya. makany sehabis salat jgn lpa panjatkan doa utk kedua orang tua kita..
ReplyDeletewkwk koplak mas akhir ceritanya...
ReplyDeleteaku melu mrebes mili mas dab...he he
ReplyDeleteah, gembeng.... hahaha
DeleteKoyo2 iba tenan
ReplyDeletejebule ngakak
:v
hahahaha..tak kiro arep melu berdiri..lha jebule...
ReplyDeletesalam sesama agus hehee :D
ReplyDeleteAku Agus Sugianto mas...
blognya keren mas :D
lah kampret bener closing statementnya mas hahahaha
ReplyDeletebenar jg sih ya, yang bikin yg tanggung jawab kann?? wkkw
Ini Satire yang terselubung, Mas Gus. Buat saya sang resap dan endap. hihi...salam santun dari blogger baru
ReplyDeleteBagian terakhire gur koyo ngunu kuwi gus?
ReplyDeletewkwkwkkwk
Bagian terakhire gur koyo ngunu kuwi gus?
ReplyDeletewkwkwkkwk
wkwkww... kok kaya gtu ya...
ReplyDeletelucu banget deh :D
dasar! kirain cerita serius..
ReplyDeletewkwkwk gus gus, akhire yo podo wae ra gelem menehi longgomu wkwk
ReplyDeletesetiap anak akan mengalami tua
ReplyDeletesebaiknya ngaca kepada yang lebih tua
ReplyDeleteojo ngelawan sama ortu,mereka sangat menyayangi kita
ReplyDeletegus berbaktilah sama orang tuamu selagi masih hidup
ReplyDeleteBegitulah kasih sayang ortu sama anaknya. Sampeyan akan merasakannya nanti kalo udah nikah dan jadi Bapak, aamiin.
ReplyDeleteIzin berkunjung dan nyimak artikelnya ya gan? :)
ReplyDeleteKirain akan ada hero action didalam ceritanya.. eh malah.... :v
ReplyDeleteBeuh, kirain...
ReplyDeleteWah-wah, lumayan mengharukan ceritanya...
ReplyDeleteorang tua yang perhatian, memang seharusnya begitu jadi orang tua :)
ReplyDeletekasih sayang ortu sama anaknya
ReplyDeleteAlat pemotong keripik kentang
bagus, menginspirasi .. :-)
ReplyDeleteaduhh mata ane kelilipan euyyy
ReplyDeleteSeru banget ceritanya masbro :)
ReplyDelete