Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Puja-Puji untuk Lord Didi Kempot

| Monday, 10 June 2019 |

Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandingi Didi Kempot. Tidak Robbie Williams, tidak Frank Sinatra, tidak pula Nat King Cole, semuanya tak bisa. Sebab Didi Kempot adalah semesta yang lain.

Ia lelaki luar biasa yang oleh banyak orang dijuluki sebagai “God Father of broken heart”, bapak patah hati. Julukan yang tentu saja sangat kurang tepat, sebab Didi kempot adalah broken heart itu sendiri.

Didi Kempot, pada titik tertentu, ia jauh lebih besar dari Jokowi.

Saya bertemu langsung dengan dia pertama kali enam tahun lalu di Hotel Sahid Jaya. Saat itu, dia keluar dari bar hotel, sementara saya sedang duduk di lobi. Melihatnya, tak butuh waktu lama bagi saya untuk segera menghampirinya dan meminta berfoto bersamanya.

Dia berjalan pelan. Sangat anggun namun tetap gagah. Dari jarak yang sangat dekat, aura patah hati terasa sekali. Mungkin di dunia ini, hanya Didi Kempot, yang mampu membuat seseorang patah hati bahkan tanpa perlu jatuh cinta lebih dahulu.



Saat bertemu dengan saya, ia memakai kaos bertuliskan huruf LE. Ini bukan huruf biasa, melainkan dua huruf awal dan akhir dari kata LOVE. Ada semiotika di sana. Bahwa cinta itu soal mengawali dan mengakhiri. Sedangkan perjalanannya, adalah petualangan yang penuh misteri. LE bisa menjadi LIVE, hidup. Bisa pula menjadi LOSE, kehilangan.

Didi Kempot bukan semata penyanyi. Ia adalah dimensi waktu. Maka tak berlebihan jika kemudian ada istilah “Waktu Indonesia bagian kembang tebu sing kabur kanginan.”

Katon Bagaskara boleh saja membuat Jogja menjadi tempat yang melemparkan ingatan masa lalunya, atau John Denver membikin West Virginia-nya sebagai labirin nostalgianya. Namun Didi Kempot, baginya kenangan bisa tercecer di mana saja. Di Stasiun Balapan, di Terminal Tirtonadi, di Terminal Kertonegoro, di Pantai Klayar, di Tanjung Mas, di Gunung Purba Nglanggeran, di Parang Tritis. Semuanya adalah lumbung-lumbung kenangan.

Ia penyanyi yang mampu menembus sekat-sekat ketidakmungkinan. “Sewu kuto, uwis tak liwati,” ujarnya dalam lagunya. Padahal jumlah kota dan kabupaten di Indonesia hanya 415. Artinya, ia menembus batas negara untuk mengejar cinta sucinya. Tak banyak yang sanggup berjuang dengan perjuangan yang lebih sakit dari pada dia.

Perjuangan yang ketika ia yakin ia tak bisa memenangkannya, ia merelakannya, dengan ikhlas. “Umpamane kowe uwis mulyo, lilo aku lilo.”

Cobalah kau sesekali menonton konsernya. Konser yang akan terasa sangat aneh, sebab tak ada air mata yang menetes, namun kepedihan terasa mengalir deras sekali.

Pada akhirnya, kita semua memang harus mengakui. Dia bukan seorang penyanyi. Kita salah besar. Sebab, dialah nyanyian itu sendiri.

Semua ibu melahirkan anak, tapi tidak dengan ibunya Didi Kempot, ia melahirkan legenda.

Hanya di tangan Didi Kempot-lah, negara seperti Swiss yang kuat meski tanpa tentara itu bisa luluh menjadi pesakitan.

*Swiss sakmestine, ati iki nelongso.




Sawer blog ini

17 comments :

  1. wah lagu2nya dia jadi mnegingatkan sama mertuaku, dia suka banget

    ReplyDelete
  2. mantap artikel nya, oroginal bgt

    ReplyDelete
  3. Wah tulisannya menarik mas. Hahahha, udah lama saya gak baca tulisan blogger, ini awal pertama kali saya baca, menghibur banget.

    Mampir juga dong ke blog saya gariswarnafoto.net

    ReplyDelete
  4. Memang Didi kempot adalah seorang legenda mungkin juga pahlawan tembang jowo, yg mendobrak tirai tirai
    Menjadikan tembang jowo nyayian yg sahdu :)

    ReplyDelete
  5. Didi Kempot adalah semesta yang lain~

    ReplyDelete
  6. Didi Kempot adalah dimensi ruang dan waktu yang kabur kanginan

    ReplyDelete
  7. Ganu aku sering nyanyi lagune mas Didi sing judule stasiun balapan. Gawe loro ati.. ha ha.. Kelingan ora koe mas?

    ReplyDelete
  8. balapan neng setasiun...kutho solo sing dadi kenangan kowe karo akuuuuuuu 😂

    ReplyDelete
  9. the grandfather of broken heart :)

    ReplyDelete
  10. Mantap Mas Agus.. suka dengan tulisan Pimred Mojok ini

    ReplyDelete
  11. dan kini beliau meninggal dunia

    ReplyDelete

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger