Ini pengalaman pertama kalinya dalam hidup. Nginep di hotel yang lumayan terkenal di tengah kota Jakarta, dan airnya mati. Trus sama pihak hotelnya dikasih air dua galon sama gayung buat cebok dan cuci muka. Benar-benar pengalaman “realisme magis”.
Bukan, ini bukan salah hotelnya, sebab bukan cuma hotel yang saya tinggali ini yang kena dampak air mati, tapi juga ribuan bangunan lainnya di 84 kelurahan di Jakarta Selatan, yang memang diakibatkan oleh kebocoran pipa air PAM Jaya.
“Kemarin jam empat sempat hidup sebentar airnya, tapi sekarang mati lagi,” kata resepsionis.
Sejak sering bolak-balik Jogja-Jakarta buat promo film, saya dan Kalis memang jadi sering menginap di hotel ini, hotel lawas bintang 4 yang memang lokasinya sangat strategis karena berada di tengah kawasan perkantoran dan kebetulan dekat dengan kantor media yang menggarap film saya.
“Nanti petugas kami akan bawakan air dua galon ke atas.“
Saya dan kalis lalu berjalan menuju kamar, tentu dengan perasaan agak tak percaya. Dan begitu dua galon itu benar-benar sampai di depan pintu, meledaklah tawa saya.
“Tidak masuk akal, Kalis. Tidak masuk akal.” Kata saya. Jujur saja, saya jadi bingung, harus marah atau malah harus tertawa.
Saya memang pernah mendengar cerita bahwa Raisa mandi dengan air galon, namun saya tak menyangka saya akan mengikuti jejaknya, bahkan lebih dahsyat, sebab air galon itu tidak saya pakai untuk mandi, melainkan untuk cebok.
Area vital saya benar-benar dimanjakan. Benar-benar silit elit, manuk ningrat.
“Kui yen galon’e isi air RO, cebokmu full oksigen mas,” komentar Okta kawan saya.
Tentu saja saya tertawa membaca komentar itu, sebab saya jadi membayangkan, bagaimana jadinya silit dan manuk yang full oksigen. Saya jadi bertanya-tanya, apakah kentut saya akan makin ngowos dan bertenaga? Dan apakah burung saya jadi punya performa kelelakian yang jauh lebih agresif serupa piston angin?
Sambil meringis getir, saya berjongkok menatap dua galon dengan gayung baru yang masih ada label harganya itu. Di dalam galon itu, bukan hanya ada air, tapi juga ada kunci kesuksesan Raisa, nama baik PAM Jaya, dan reputasi hotel bintang empat.
Ah, rasanya tak pernah saya melihat galon air yang penuh statement dan sepuitis ini.
Realisme Magis Berwujud Air Galon di Hotel Berbintang
Kenapa Kita Turun ke Jalan?
Hari ini, banyak dari kita turun ke jalan. Menyuarakan apa yang memang harus kita suarakan. Ketika aksi usai dan kita tiba di rumah setelah seharian berpanas-panasan dan berteriak di jalan, kita lantas dilanda heroisme sesaat, dan tak ada yang salah dengan hal itu. Merasa heroik atas sikap yang didasari oleh pengetahuan dan hati nurani adalah heroisme yang layak diberi ruang.
Setelah ini, kita mungkin akan kembali beraktivitas seperti biasa. Kita kembali belajar di kampus, kembali bekerja di kantor, kembali rebahan di kasur, kembali mabar di bangku-bangku kedai kopi bersama kawan-kawan.
Saya pun demikian. Besok saya akan kembali menjual buku di Akal Buku, kembali membuat konten-konten random untuk mempromosikan film Seni Memahami Kekasih, kembali mengemas dan menjual Kecap Mbah Joyo, kembali menggendong dan bermain dengan Raras anak saya, kembali melahap masakan istri tercinta, dan kembali terpaksa menonton emyu yang susah menang itu.
Perasaan yang paling penting bagi saya sejatinya adalah kelegaan karena saya ternyata masih berani untuk tidak diam. Masih berani untuk melawan walau harus beramai-ramai. Masih berani untuk menentukan sikap dan menyuarakannya. Dan itu lebih dari cukup.
Hari ini, sore ini, revisi UU Pilkada batal disahkan. Tentu saya lega dan bahagia, walau mungkin itu hanya "kemenangan" sementara. Namun andai pun hal itu tidak terjadi, saya pun tetap lega. Sejak awal, saya dan mungkin ribuan orang lainnya turun ke jalan memang untuk menunjukkan sikap melawan kami. Ada pun hasilnya, itu urusan Tuhan. Bahwa ternyata hasilnya sesuai dengan apa yang kami harapkan, itu adalah bonus.
Minggu depan, atau mungkin bulan depan, atau mungkin tahun depan, kita bisa saja harus turun lagi ke jalan. Dan tuntutan yang kita suarakan bisa saja tidak digubris dan menguap begitu saja. Dan itu biasa. Yang terpenting bagi kita adalah keberanian untuk tidak diam. Keberanian untuk melawan, dengan cara apa saja yang kita bisa.
Apakah kita sudah suci? Tentu saja tidak. Tapi bahwa kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang adil dan mana yang tidak, saya pikir kita mampu. Toh kita tidak goblok-goblok amat bukan?
Dan saya pikir kita harus sepakat, bahwa terhadap ketidakadilan, diam tentu saja bukanlah pilihan. Tetaplah melawan, tetaplah bersuara, bahkan walau hanya dari dalam hati yang paling redup.
Selemah-lemahnya iman.
Menjadi Semut
Kehadiran saya di jalan siang ini, bersama pesan sederhana yang dicetak di atas kertas kecil berukuran A4 ini, tentu saja tidak akan mencegah keculasan yang terjadi. Namun yang jelas, saya ingin menjadi bagian yang menolak diam saat praktik kekuasaan yang seenak udelnya sendiri itu terjadi di depan mata, dan berkali-kali.
Saya, dan juga ribuan manusia lainnya yang turun ke jalan hanyalah dan akan tetap menjadi gerombolan semut-semut rangrang kecil yang mudah diinjak lalu mati. Namun kami akan tetap bangga menjadi semut-semut rangrang itu, sebab kami berusaha melawan, kami tidak diam.
Harus ada gangguan bagi kekuasaan yang sewenang-wenangan, sekecil apa pun itu. Harus ada aral untuk praktik-praktik kecurangan, selemah apa pun itu. Dan harus ada rumput-rumput ilalang di tengah jalan yang menuju ketidakadilan, sesedikit apa pun itu.
Mungkin ini berlebihan, tapi kami ingin seperti semut “Ibrahim”, yang tetap mencoba membawa air setetes untuk ikut memadamkan api di tubuh Ibrahim yang sedang dibakar oleh Namrud, betapa pun ia sadar air setetes itu tidak akan bisa memadamkan api besar yang melahap Ibrahim.
Namun ini bukan tentang air dan api, ini tentang sikap.
“Aku tahu setetes air yang kubawa tidak akan bisa memadamkan api besar Namrud, tetapi dengan air ini aku bisa memastikan di pihak mana aku berada.” Kata si semut.
📷: @kulikata__