Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Bukak Sithik Jazz

| Wednesday, 12 February 2014 |

Tentu tak ada yang bisa membantah betapa besarnya kapasitas seorang Bens Leo sebagai seorang pengamat musik terkemuka di Nusantara. Dialah sosok pertama yang akan selalu dimintai pendapat kalau ada polemik soal permusikan di jagad entertainment negeri ini. Beliau adalah seorang wartawan pengamat musik yang sudah aktif berkiprah dalam dunia permusikan sejak tahun 70-an.

Karenanya Kalau dalam dunia ilmu sejarah ada nama Anhar Gonggong, dalam dunia Telematika ada Roy Suryo, dan dalam dunia kejantanan ada nama Dr Boyke, maka dalam dunia Musik, haruslah ada nama Bens Leo.

Sebagai seorang pakar musik, ada satu quote Legendaris yang keluar dari mulut seorang Bens Leo yang begitu saya ingat dengan kuat. "Musik tak mengenal Kasta", begitu kata Bens Leo.

Sebuah quote singkat yang mungkin akan sulit dibantah. Ya, dalam musik memang tak berlaku kasta. Semua orang boleh menikmatinya. Musik adalah bahasa ekspresif yang teramat universal, sehingga akan sangat naif jika kemudian musik dikaitkan dengan kasta.

Namun nyatanya, jika sudah bicara ranah segmentasi penikmat, maka sistem pengkastaan seolah-olah ada dengan begitu jelasnya. kendatipun tak pernah ada aturan yang mengikat tentang hal itu.

Pertentangan malah kadang sering bahkan acap kali terjadi. Tentu kita semua tahu betapa anti-nya kaum penikmat musik underground kepada musik Pop. Dalihnya tentu saja Tak ideologis lah, terlalu materi lah, musikalitas rendah lah, dan masih banyak lagi dalih lah lainnya.

Pun begitu juga sebaliknya, para penikmat musik pop kadang sangat anti dengan musik underground semisal metal dan hardcore. Kalau yang ini biasanya alasannya sok rebel lah, musiknya susah dipahami lah, brutal lah, dan lain sebagainya.

Itu realitas yang tak bisa disingkirkan. Bahkan kalau mau lebih kentara, Cobalah untuk membandingkan dua genre musik yang sangat nampak kontradiktif yang sedang berkembang pesat belakangan ini: Jazz dan Dangdut Koplo.

Kedua genre musik ini jelas punya kelebihan dan keunikan masing-masing, pun punya basis penikmat masing-masing.

Jazz lebih identik dengan musik orang berpunya. musiknya yang santai mengalun dengan pembawaan yang flamboyan seakan cocok dengan gaya hidup orang kaya yang serba elegan namun penuh keteraturan. Dan hal ini memang tak bisa dipungkiri, jazz lebih punya segmentasi penikmat kebanyakan golongan menengah ke atas.

Jazz seakan menjadi musik yang teramat tinggi dan eksklusif, bahkan saking tingginya, sampai pernah ada ungkapan yang mengatakan bahwa "Jazz itu musiknya para dewa" (Dan sampai sekarang saya masih merasa geli kalau harus membayangkan saat Dewa Zeus meniup Saksofon dengan mulut yang tertutup oleh jenggot dan kumis putih yang panjang menjuntai).

Jazz lebih mengedepankan instrumen dalam bermusik, kebanyakan tanpa lirik lagu. Dan bagi penggemarnya, itu adalah formula yang sangat dahsyat dan nikmat.

Lain jazz, lain pula dangdut koplo. aliran musik yang konon terlahir dari dunia truk pantura ini seakan menjadi lambang perlawanan kaum kecil dalam menikmati musik. Bagi banyak orang, dangdut koplo adalah musik yang asyik. Sebagai salah satu penggemarnya, saya merasa Dangdut koplo adalah musik yang paling nikmat untuk dijadikan sebagai teman bergoyang.

Irama musik bernuansa pop yang dibalut dengan hentakan kendang ketipung dan sesekali dihiasi dengan tiupan syahdu suling bambu seakan mampu membius para penikmat Dangdut koplo. Badan pun tak kuasa menolak untuk bergoyang.

Lirik lagu dangdut koplo kebanyakan berisi kisah dan luapan hati soal asmara dan kehidupan sosial golongan menengah kebawah. Imbasnya, dangdut koplo bisa begitu mudah diterima oleh masyarakat luas (karena faktanya jumlah masyarakat menengah ke bawah jauh lebih banyak dari masyarakat menengah ke atas). Lagu Oplosan dan Kereta Malam saya rasa sudah cukup untuk membuktikan itu.

Maka tak heran juga jika dalam setiap hajatan, masyarakat lebih sering menanggap acara Orkes Dangdut ketimbang musik-musik lainnya seperti campur sari, keroncong, pop, dll.

Jazz dan Koplo memang tak punya kasta, tapi diantara keduanya, seakan ada jurang pemisah yang sangat dalam dan landai.

Tapi jelas itu adalah sebuah keniscayaan, karena memang inilah musik. Semuanya punya penikmat sendiri-sendiri yang tak mungkin bisa dipaksakan. Saya adalah penikmat dangdut koplo, maka siapapun anda tak akan bisa memaksa saya untuk menyukai jazz atau genre lainnya yang memang tidak saya suka.

Kalau ada kawan yang bertanya mengapa saya lebih menyukai dangdut koplo ketimbang jazz, maka saya hanya bisa menjawab dengan lempeng.

"Soalnya lagu Westchester Lady ndak akan cocok kalau ditambah idiom Bukak Sithik Josss!, lagipula setahu saya, ndak ada diva jazz yang se-cantik, se-semok, dan se-semledot Via Vallen!"

Pokoke, Bukak Sithik Jazz




Sawer blog ini

9 comments :

  1. senang musik dimulai dari sering mendengar ...

    ReplyDelete
  2. Kalo ane malah musiknya dari situ ke situ mas, dai koplo ke jazz.. Semuanya punya keunikan sendiri

    ReplyDelete
  3. dangdut koplo memang dianggap lagu para villager mas

    ReplyDelete
  4. wis, pokok e tutupen botolmu mas agus... salam... woooyoooooo

    ReplyDelete
  5. aduh mas nek ngomongke musik ki kok mesti ono perbedaan dan pertentangan antar sesam penikmat yo? Aku dewe sih merasakan, ada yang malu menikmati musik dangdut, ada pula yang sok-sok an mendengar musik metal agar dianggap "jantan" di komunitasnya. Menurutku yo tiap orang kan berhak mendengar musik dan gak usah malu dengan seleranya

    ReplyDelete
  6. aku suka dangdut, tapi yg nggak begitu koplo lah!

    ReplyDelete
  7. | lagipula setahu saya, ndak ada diva jazz yang se-cantik, se-semok, dan se-semledot Via Vallen!" | Saya gak tau se-cantik, se-semok, dan se-semledot apa si Via Vallen, tapi coba tilik Sierra Soetedjo mas, salah satu penyanyi jazz yg saya suka, hehe :)

    ReplyDelete

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger