Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Sate Ayam Sate Kambing

| Sunday, 12 February 2017 |

Kemarin adalah malam yang cukup bagus. Saya dan Kalis makan sate di salah satu warung sate di bilangan Terban. Ada cukup banyak warung sate di daerah ini, tapi warung sate tempat saya makan boleh dibilang adalah salah satu yang paling laris.

Saya baru pertama kali makan di situ. Niatnya memang coba-coba, soalnya tiap kali habis nonton, pulangnya selalu lewat di depan warung sate ini, dan selalu saja rame.

“Buk, sate dua nggih,” kata saya kepada ibu penjaga warungnya yang nampak begitu sibuk menghidangkan sate pesanan pembeli lain. Ia dibantu oleh beberapa karyawan.

“Ayam apa kambing, mas?”

Saya melengos sejenak, bertanya sama kalis, “Lis, mau ayam apa kambing?” Ia mantap menjawab kambing.

Saya kembali beralih ke ibu penjaga warung, “Kambing, bu!”

“Pakai lontong apa nasi?”

“Yang satu lontong, yang satu nasi.”

“Ya, ditunggu, mas,” katanya sambil tetap sibuk dengan piring-piring di depannya.

Tak berselang lama, sate pesanan kami mendarat mulus di atas meja.

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk segera melangsungkan ritual nguntal. Tanpa didahului foto-foto sebagai dokumentasi, tentunya. Karena ndilalah, kami sama-sama tipe pemakan yang bijak dan lahap, yang selalu bisa memperlakukan makanan dengan baik tanpa harus banyak basa-basi.

Tak sampai sepeminuman kopi, sate di hadapan kami pun tandas.

Entah mengapa, setelah makan, rasanya seperti ada sesuatu yang menganggu, sejenis perasaan yang mengganjal. Saya berfikir keras, apa sesuatu yang menganggu itu.

Merenung sejenak, barulah saya tersadar, bahwa yang saya makan barusan ini jelas bukan sate kambing, melainkan sate ayam. Demi Tuhan, sampai Anggun jadi duta shampo lain pun, saya akan tetap yakin kalau barusan itu sate ayam.

“Lis, kamu merasa yang kamu makan itu sate ayam apa sate kambing?” Tanya saya kepada mbak manis di depan saya itu.

“Oalah, iya ya mas, kita kan pesennya sate kambing, tapi yang barusan aku makan itu rasanya seperti sate ayam,”

Kowe yakin, Lis?”

“Yakin, mas. Lidahku ini kan bukan lidah goblok, aku yakin banget, barusan itu sate ayam,”

“Nah tho, lidahku juga mengatakan demikian.”

“Sudah ah, mas. Nggak udah diributkan, toh sudah habis ini satenya.”

“Iya, nggak penting juga,”

Nah, disinilah kemudian timbul masalah. Usut punya usut, ternyata harga sate ayam dan sate kambing itu beda. Harga dua porsi sate ayam (plus dua teh anget) 36 ribu, sedangkan kalau sate kambing, 44 ribu.

Saya jadi bingung ketika harus bayar ke ibu warungnya.

“Berapa, bu?”

“Pesennya apa saja?”

“Sate ayam dua, sama teh angetnya dua,” jawab saya. Saya mengatakan ayam karena memang saya merasa, yang saya makan itu sate ayam, bukan sate kambing.

“tiga enam, mas,”

Saya lantas merogoh saku untuk mengambil uang. Saat merogoh saku itulah, terlintas di pikiran saya, Kamu tadi pesen sate kambing, kenapa sekarang bilangnya sate ayam?

Mak tratap, saya langsung mengoreksi pesanan saya.

“Eh, bu, maaf, nggak jadi sate ayam, tapi sate kambing,” kata saya dengan nada yang tratapan dan tidak beraturan. Saya merasa harus mengoreksi pesanan saya, sebab bisa jadi, yang tadi kami makan itu sate kambing dan lidah kami yang memang bermasalah.

“Lho, masnya ini gimana? yang bener dong, sate kambing apa sate ayam?” Kata ibu warung dengan nada yang agak dongkol. Saya tak menyangka, si ibu bakal bersikap sereaktif ini.

“Wah, saya lupa je bu” kilah saya, “Itu tadi yang disajikan sate ayam apa sate kambing ya, bu?”

“Tadi masnya pesennya apa? sate kambing apa sate ayam?” kata ibu warung, kali ini dengan wajah dan nada yang mulai nyolot.

Saya jadi jiper sendiri.

“Ehm... ehh, sate kambing, bu”

“Nah, ya sudah, empat puluh empat,” katanya sinis.

Saya langsung membayar dengan perasaan yang begitu masygul. Seumur-umur makan di warung sate, baru kali ini saya dinyoloti sama pedagang satenya.

Kami langsung keluar dan melangkah dengan diiringi janji, untuk tidak makan di warung sate itu lagi.

“Asu og, Lis, bakule nyolot. Marakke anyel.”

Saya tadinya berharap makan bareng di warung sate itu bisa menjadi makan malam yang mengesankan, dan bisa menjadi jujugan untuk makan malam berikutnya, ternyata malah menjadi makan malam yang cukup menjengkelkan. Dan itu gara-gara ayam.

Heh, yasudah. Daripada saya semakin jengkel gara-gara ayam, mendingan saya kasih tebakan tidak mutu soal ayam saja. Doa saya, semoga sampeyan semuanya terlindung dari pedagang-pedagang yang nyolot dan bikin jengkel.

Kenapa ayam kalau nyebrang nggak pernah nengok kanan-kiri? Karena matanya memang sudah ada di kanan dan kiri, nggak di depan.

Ayam ayam apa yang kalau jalan arahnya selalu ke kiri terus? Ayam dikunci stang.

Kalau ada ayam jago badannya abu-abu, sayapnya ijo, kakinya putih, jenggernya coklat, trus telurnya warna apa? Nggak punya telur lah, kan ayam jago.

Kenapa ayam betina nggak punya toket? sebab ayam jago nggak punya tangan dan nggak punya bibir.




Sawer blog ini

21 comments :

  1. Oh, sekarang Mas Agus sudah punya pasangan... Yang awet ya, Mas. Jangan sampai bubar lho. Susah lagi nanti cari yang khilaf mau sama Mas Agus. 🙊

    ReplyDelete
  2. Kui dedeknya beneran opo cuma berhalusinasi koe, Gus? Hahhahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku pengin omong beneran, tapi apa mau dikata, kowe wis skeptis duluan soalnya... hahaha

      Delete
  3. Ini pertama kalinya saya full baca postingannya mas Agus, simple tapi menghibur hehhee
    sukses terus dengan new postingnya mas.

    ReplyDelete
  4. intine kapok ya mas gus, tapi masih untung mas, untung mangane wis ora dewean, hehehe

    ReplyDelete
  5. Betul juga mas Agus, ayam kan matanya sudah dikanan dan dikiri..hehe

    ReplyDelete
  6. Terkadang emang kesel juga ya mas. Kita makan di tempat makan yg pelayan nya judes pisan.... Tapi apa mau dikata, kalo sudah masuk gak mungkin kan keluar.. Hehe, sukses terus mas agus

    ReplyDelete
  7. Gokil abis ceritanya..
    Tapi sebenarnya siapa yang salah ya...?
    Mas Agus apa pedagang satenya..?

    ReplyDelete
  8. Alasan ayam tak punya toket lucu juga...

    ReplyDelete
  9. Hahaha.... Yang terakhir bikin ngakak...

    ReplyDelete
  10. bajingaaan kowee gus....... ayam apa yang tidak pake BH?

    ReplyDelete
  11. Huahahaha... Kudune ket awal protes ya gus. Aku haqqul yaqin nek kui pancen kesalahan sing dodol. Soalnya lidah singa itu pasti bisa merasakan mana daging ayam mana daging kambing.. Yes, because we are carnivora!

    ReplyDelete
  12. Tenane Bro.... ra kuwalek mbayar to...? aku kok curiga panjenengan mesti balik nang bakule.. setelah mengantar dedeknya pulang..... hehhee...piss yo

    ReplyDelete
  13. mas agus mulyadi saya kog gak setuju ya dengan pendapat sampaian tentang ayam tadi, dari analisa saya bahwa mungkin si ibuk tadi kog sengaja menghidangkan ayam (sate) karena mungkin secara tidak sengaja ada malaikat lewat memebuat ibuk tsb sengaja khilaf ...tujuan nya satu...menguji cinta dan kesabaran kalian....nah tuh hikmahnya tolong diingat...untuk urusan toket ayam,..mbok jangan dibahas kasian to ..anda berdua ini sudah menjadi pemangsa dan puncak rantai makann kog ya masih menghina ayam...kualat lho mas agus...jangan ya bahas toket ayam bahas aja bulunya aja

    ReplyDelete
  14. Selamat siang mas Agus....

    Perkenalkan mas, nama saya Niam...

    Meski blog kita bergenre bebeda, tapi saya masih istiqomah mengikuti perjalanan blog mas agus ini
    Dan termasuk selamat dan alhamdulillah akhirnya gak bergelar jomblo tapi hafal pancasila lagi....

    Oke mas, maaf yang panjang lebar diatas....

    maksud kehadiran saya di lapak komentar ini mas, ingin menginformasikan kalau pengalaman mas agus memakan sate ini saya jadikan referensi pentingnya memberikan kualitas yang baik bagi konsumen, entah itu produk ataupun pelayanan... dan saya cantumkan linknya dalam blog saya http://rintisan.net/cara-meningkatkan-omset-penjualan-yang-efektif-dengan-cepat/

    saya mohon maaf karena izinnya terlambat, semoga mas agus bisa berlapang dada

    terima kasih
    Niam ansori

    ReplyDelete
  15. Alasan lainnya adalah karena piyik ndak nyusu. :|

    ReplyDelete

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger