Saya ingat sekali, dulu waktu SMP kelas satu, saat ada pagelaran pentas seni, ada kawan saya yang maju tampil membawakan monolog humor, yah, semacam stand up comedy lah kalau sekarang.
Dia begitu pede, walau sejujurnya, materi humor yang dia bawakan, cenderung tidak lucu. Kalaupun ada yang tertawa, kemungkinannya hanya dua: 1. Tertawanya hanya sekadar formalitas, atau 2. Selera humornya memprihatinkan.
Dan terbukti, memang hanya segelintir yang tertawa saat itu.
Saya tak ingat bagaimana prosesnya, mungkin karena ia keburu sadar bahwa materinya tak lucu, tapi yang jelas, kawan saya yang luar biasa pede ini kemudian mengubah format penampilannya dari monolog menjadi tebak-tebakan.
Ah, langkah yang taktis, setidaknya, dengan tanya jawab, ia bisa berinteraksi dengan penonton, sehingga suasana penampilan bisa menjadi lebih hidup dan tidak krik-krik.
"Walau tak lucu, ternyata masih cukup cerdas juga kawan saya ini" batin saya.
Tapi dasar memang jiwanya yang tak lucu, tebak-tebakan yang saya pikir bakal menyelamatkan penampilan kawan saya ini ternyata jauh lebih kering dan tidak lucu ketimbang monolognya.
Lha bayangkan, tebak-tebakan pertamanya langsung merujuk kepada salah satu tebak-tebakan paling garing sepanjang hayat: "Buah apa yang warnanya kuning, rasanya manis, dan yang tahu cuma monyet?"
Ini tebakan-tebakan wagu. Dan saya yakin tak bakal ada penonton yang menjawab. Bukan karena tidak tahu, tapi justru karena hampir semuanya tahu. Selain itu, ini tipe tebak-tebakan yang memang tidak layak untuk dijawab, tidak ada asyiknya menebak pertanyaan jenis ini.
Hampir setegukan kopi, dan benar dugaan saya. Tak ada satupun yang mengangkat tangan untuk menjawab.
Tetiba, jiwa welas asih saya muncul. Demi melihat kawan saya yang agaknya mulai pucat karena tak ada satupun penonton yang tertarik untuk menjawab tebak-tebakannya, saya lantas mengacungkan tangan dan menjawab, "Pisaaaang", dengan nada yang saya bikin seantusias mungkin.
Si kawan kita yang pede setengah mati ini kemudian langsung bersorak kepada saya, "Wahahaha, berarti kamu monyet" katanya dengan wajah yang teramat sangat puas sebab ada juga sasaran yang kena oleh tebak-tebakan tidak bermutunya.
Dan tanpa disangka, saat kawan saya ini menyebut saya monyet, ternyata ada cukup banyak penonton yang tertawa. Beberapa bahkan ada yang ikut mengatai saya, "Agus Monyeeeet,"
Saya paham konsekuensi ini, sebab saya tahu, toh memang ini tujuan akhir tebak-tebakannya.
Setelah itu, tebak-tebakan tetap berlanjut. Saya tak akan menceritakannya disini. Tapi yang jelas, saya hanya ingin memberitahukan kepada kalian semua, bahwa untuk menjadi pahlawan, kalian tak harus menjadi jagoan, cukuplah jadi seekor monyet.
Dan puji Tuhan, saya pernah membuktikannya.
Pengorbananmu keren, mas. Demi temen sampe segitunya. Sementara temenmu yg ga lucu itu bajingak tenan
ReplyDeletesuperrrrrbbbbb
ReplyDeleteMantap dan lucu artikelnya bang agus.Kali kali mampir dong ke blog ane
ReplyDeleteMantap kang Agus...tetap memberikan lucu selalu...always be funny.
ReplyDeletega nyangka... kukira apa ternyata...wkwkw
ReplyDeleteDibalik Pahlawan ada Pengorbanan Suci..
ReplyDeletedan ternyata monyettttt guss hhhhhh
ReplyDeletejadi inget episode spongeboob yang standup comedy yang dipenuhi jangkrik sebelum dia memutuskan untuk menjadikan sandy cheeks sebagai objek lawak
ReplyDeletekoe kok lucu to ndess.. wkwkwk
ReplyDeletehhh, keren, tu aja sekian dan teimakasih
ReplyDeleteTTD
pembaca setia blog "Agus Monyeeeet" atau lebih tepanya pahlawan yang menjadi monyet
Memang selalu bikin ketawa mas mulyadi ini hehee ...
ReplyDelete