Bapak saya marah-marah, karena ikat pinggang yang dia taruh di kamar emak saya hilang alias ketlingsut entah kemana.
Kamar emak saya tentu saja sejatinya adalah juga kamar bapak saya. Namun, karena saking banyaknya lemari (ada 3 lemari), ditambah beberapa kotak pakaian yang terparkir di kamar emak membuat bapak sumpek dan membuat ia lebih sering memilih tidur di depan tivi.
Emak saya berada satu barisan dengan dua adik perempuan saya. Gemar membeli pakaian namun lebih suka menyimpannya alih-alih memakainya. Jadilah jumlah pakaian di rumah kami bejibun dan semuanya disimpan di kamar emak. Maklum, rumah kami adalah rumah tipe RS9 (Rumah Sungguh Sangat Sempit Sekali Sehingga Selonjor Sedikit Saja Sulit).
Berlawanan kutub dengan emak, bapak saya dan juga saya (sebagai sesama lelaki) berada pada barisan yang lain. Tak terlalu suka membeli banyak pakaian dan selalu bernafsu untuk membuangnya jika memang sudah tak pernah dipakai lagi. Bagi kami, sebaik-baik pakaian adalah iman (uhuk).
Dua barisan dalam satu biduk ini selalu mengalami pergolakan yang hebat. Bapak, sering sekali diam-diam mengambil pakaian yang sudah sering tiada dipakai dari dalam lemari untuk dipotong lalu dijadikan keset atau lamping (kain yang sering digunakan untuk mengangkat gagang panci panas dari kompor). Pada titik yang ekstrem, bapak malah pernah mengambil cukup banyak pakaian untuk kemudian membakarnya.
Saya sendiri mungkin juga sering merasakan apa yang bapak saya rasakan. Sumpek karena terlalu banyak pakaian.
Nah, efek paling mengganggu dari terlalu banyak pakaian di kamar emak ini salah satunya adalah sering membikin ketlingsut barang-barang yang ditaruh di sana. Baik itu sarung, tas kecil, buku, atau yang barusan terjadi pada bapak saya: ikat pinggang.
Barang-barang yang kelingsut itu biasanya baru ketemu setelah kotak-kotak pakaian dan lemari diudal-udal.
Nah, barusan, atas kehilangan ikat pinggangnya itu, bapak marah cukup sadis dan mengumpat dengan umpatan yang, bajangkrek setan alas, malah terlihat lucu ketimbang seram.
“Wis, sesuk ben tak obong kabeh klambi ning kene iki, kabeh-kabeh barang angger tak seleh ning kene kok mesti ilang. Iki kamar po segitiga bermuda tho?” Ujarnya geram.
Demi mendengar kata "Segitiga bermuda", saya kaget terperanjat, dan langsung menahan tawa. Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin bapak saya yang tak pernah baca majalah Natgeo ini kok bisa-bisanya tahu tentang fenomena segitiga bermuda.
Saya terdiam sejenak, lalu tersadar akan satu hal. On The Spot Trans7, ya... Pasti gara-gara On The Spot Trans7. Tiada bukan.
hahahahaha gos gos sangar yo bapakmu
ReplyDeleteAlon2 kang, mbokan di duwai pangan iket pinggang engko..
ReplyDeleteOalah.. bapake bisa bertiwikrama.. heboh.
ReplyDeleteTaqabballahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum.
Selamat Idul Fitri 1438 H.
Mohon Maaf Lahir dan Batin
wah, bapakmu koyone luweh paham Dajjal ketimbang kowe gus...
ReplyDeletehahhahaa...
Barokallah Mas Agus...
ReplyDeletengakak so hard, segitiga bermuda
ReplyDeletebahasanya bikin ngakak so hard ha ha ha
Deletehahahaha... Mas Agus aya aya wae :D
ReplyDelete