Saya dan Kalis baru sampai di daerah Prambanan dalam perjalanan dari Solo ke Jogja ketika hujan perlahan mulai turun dari rintik kecil dan kemudian mulai menunjukkan tanda-tanda rusuh menjadi semakin deras.
Saya mulai membatin doa dalam hati, “Ya Alloh, kulo nyuwun terang, jangan hujan, Ya Alloh.”
Tapi apa daya, doa saya rupanya kurang makbul. Hujan tetap turun, dan bahkan semakin deras dan provokatif.
“Ngeyup sik, Mas,” kata si Kalis.
Saya manut dan kemudian memutuskan untuk berteduh di masjid di tepi jalan raya. Sekalian luhuran.
Selesai salat, entah karena efek spiritual luhuran atau tidak, tapi yang jelas, hujan mendadak mereda.
“Wah, jan sholate manjur tenan,” kata saya. “Langsung terang.”
Kami lantas melanjutkan perjalanan. Motor saya starter, dan kami pun kembali melaju menggilas aspal jalanan Prambanan.
Namun kemudian, tak sampai lima menit setelah kami melaju, hujan yang tadi sempat mereda mendadak menderas kembali.
“Wah, Gusti Alloh ki cen seneng guyon kok ya, Lis. Tiwas seneng udane mandeg, saiki kok malah deres meneh.” kata saya.
“Ha mangkane nek udane terang ki mas meneng wae, rasah komentar,” balasnya sengak.
Saya sadar bahwa mustahil untuk melanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan deras, sebab mantol yang kami punya hanya satu. Kalau saya yang pakai, nanti saya dikira egois, tapi kalau saya suruh kalis yang pakai, nanti saya dituduh sok romantis, sok heroik, dan sok berkorban.
Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli mantol di salah satu kios jualan mantol yang kami lewati.
Satu mantol pun terbeli. Harganya tak mahal, tapi agak tak layak pula disebut murah. 45 ribu.
Sekarang kami punya dua mantol. Pas. Satu buat saya, satu buat Kalis.
Tanpa banyak ba bi bu, kami segera memakai mantol kami masing-masing. Warnanya serasi, sama-sama biru. Berasa mantol couple.
Kali ini, saya mantap melanjutkan perjalanan, mau hujannya deres atau tidak. Sudah pakai mantol semuanya soalnya.
Tapi jan bajangkrek tenan. Belum ada tiga menit setelah memakai mantol, hujan mendadak reda.
“Nah, tenan tho. Gusti Alloh ki seneng guyon,” kata saya kembali.
“Nek iki pancen iyo, Mas,” balas Kalis.
Karena sudah kadung pakai mantol, kami memaksa untuk tetap lanjut perjalanan tanpa mencopot mantol yang sudah kami pakai. Rasanya kagol kalau kami harus mencopotnya.
Sepanjang perjalanan, saya membatin doa terus-menerus, “Ya Alloh, udano sing deres, udano sing deres,”
Seng penting wes koyok Dilan ro Melia, Gus.
ReplyDeletePenjalukanmu mencla mencle ga konsisten. Udan iku ora mung nggo memfasilitasi perjalananmu tok lho mas....
ReplyDeleteSemangat Mas aguss... :)
ReplyDeleteTerimakasih mas ini artikel sangat bermanfaat untuk saya, jika berkenan saya pribadi juga menyediakan konten tentang Teknologi, jadi jika mas ada kendala tentang dunia teknologi bisa konfirmasi ke situs saya yah mas, Terimakasih >>> Feri Tekno
ReplyDeleteAngpao cuma-cuma hanya dari Aiabet untuk semua member nya !
ReplyDeletebisa didapatkan di www.aiabet.com
nonton bola online
Daftar Judi Tangkas disini
agen bola terbaik
bawa mantel.. terang, ga bawa mantel ujan gemrobyos
ReplyDeleteSaya dilema kl hujan...
ReplyDeleteKarena gak tahan dingin, tapi waktu hujan itu waktu yang mustajab u hanturkan doa...
Btw salam kenal ya pak Agus :)
Sik ta, pas udan ndungo ndang kawin po gak, Gus?
ReplyDeleteWkwk koplak.. Dungo kok mencla mencle. Ramashoook koe, gus..
ReplyDeleteaku lho ora paham sampeyan ngendika nopo mas wkwkwk
ReplyDeleteFinally, after a long search, I found a friend. We experienced the same, brader :D
ReplyDelete