Hari itu boleh jadi merupakan hari yang sangat menyenangkan. Saya pulang dari Semarang setelah mengisi semacam seminar kemahasiswaan yang diselenggarakan oleh Undip.
Dalam perjalanan balik ke Jogja, saya mampir sebentar ke Magelang, melepas kangen sama keluarga, dan mengambil pesanan saya: sayur jengkol.
Dari Magelang, saya membawa tiga plastik penuh sayur khuldi Jawa itu. Saya tak menyangka, jika sayur tersebut bakal menjadi awal rasa sakit yang teramat sangat.
Sampai Jogja, sayur itu langsung saya lahap dengan sangat dramatis. Nasinya setengah, dan jengkolnya full. Sangat kolosal. Lebih layak disebut jengkol lauk nasi, ketimbang sebaliknya.
Dan itu saya lakukan berkali-kali. Saya bahkan menyantapnya tanpa nasi, saya gado, saya titil-titil, sampai saya tak sadar sudah berapa jengkol yang saya santap.
Rasa sakit itu kemudian muncul sekitar pukul setengah tujuh malam saat saya akan menemui kawan lama saya di salah satu cafe. Saya mampir ke Alfamart sebentar untuk membeli permen relaxa. Maklum, bagi pemangsa jengkol, permen relaxa adalah salah satu obat utama untuk mengurangi “bau naga” yang timbul dari mulut.
Saat berdiri untuk antri di kasir, perut saya melilit luar biasa. Sakitnya setengah mati.
Saya mencoba untuk menahan rasa sakit tersebut, setidaknya selama saya harus ngobrol dengan kawan lama saya. Saya tak ingin menyambutnya dengan kondisi saya yang tampak sakit.
Saya dan kawan saya ngobrol sampai sekitar pukul setengah sepuluh.
Setelah kawan saya pulang, rasa sakit di perut semakin menjadi-jadi. Perut saya seperti diremas-remas. Saya berusaha untuk tidur agar sakitnya tak terasa, tapi saya gagal saking sakitnya.
Tengah malam, rasa sakit tersebut semakin menjadi-jadi. Ia seperti sedang mengejek saya. Saya pasrah. Saya menyerah. Saya kemudian menghubungi Kalis untuk mengantarkan saya ke rumah sakit.
Tengah malam, menggunakan Go-car, kami bertolak ke Sarjito.
“Sakit apa, Mas?” Tanya Driver Go-car
“Saya nggak tahu, Mas. Saya takutnya ini kena usus buntu…” jawab saya sambil terus menahan sakit.
Mobil kemudian melaju dengan kecepatan yang sangat Pantura. Si Driver mungkin sadar diri, bahwa ia sedang mengangkut makhluk lemah yang butuh mendapatkan penanganan dengan segera.
Rasa sakit mulai mengacaukan pikiran saya dan membuat saya melantur tak keruan.
“Lis, apa jangan-jangan aku mens, ya? Apa aku minum Kiranti saja?” Kata saya pada Kalis.
“Rasah aneh-aneh,” jawab Kalis.
Sekitar lima belas menit perjalanan, kami akhirnya sampai di Sarjito. Catatan cleansheet saya yang sejak kelas 2 SMP untuk tidak pernah masuk rumah sakit sebagai pasien akhirnya ternodai.
Di Sarjito, saya langsung diperiksa oleh dokter jaga, dugaan sementara, asam lambung saya naik. Ini lumayan aneh, sebab selama ini, saya memang tidak pernah punya riwayat buruk dengan lambung.
Saya kemudian diberi resep oleh dokter.
Seorang kawan SMA, sebut saja Kutul yang kebetulan jadi perawat jaga di Sarjito kemudian menghampiri saya.
“Kowe ki asline mung kurang mangan, Gus…” ujarnya sambil tertawa dan mengambil foto saya yang sedang tergolek lemah untuk kemudian ia posting di grup wasap SMA.
“Lambemu…” jawab saya sambil meringis.
Belakangan, baru diketahui bahwa ternyata sakit yang saya rasakan bukan karena usus buntu, asam lambung, atau kurang makan. Melainkan karena sebuah penyakit unik yang disebabkan oleh terlalu banyak makan jengkol: jengkolit, alias jengkolen.
Hal ini ketahuan setelah semua gejala yang saya rasakan cocok dengan gejala jengkolit: nyeri perut, muntah, pengeluaran urin sedikit dan terdapat titik-titik putih seperti tepung di ujung penis.
Ah, hidup memang “wolak-walik”. Rasanya baru kemarin saya dan kawan-kawan di komunitas KBEA menertawakan Kikik karena masuk klinik sebab babak bundas setelah menabrak motor orang yang parkir beli martabak, ealah, sekarang saya yang jadi bulan-bulanan karena masuk rumah sakit sebab overdosis jengkol.
Fotonya tetep estetik mas
ReplyDeleteJanjane aku turut prihatin koe loro, Gus. Mung yen moco ceritane kok malah akeh ngakak e daripada prihatin e ahahhahah.
ReplyDeleteWoe, wingi mak Indah Juli njaluk nomormu, terus tak kirimi. Sopo reti ono kabar baik tentang bab overdosis jengkol *eh kakakakakkaka
Kapok ra mas mangan jengkol?
ReplyDeletekalo dikampung saya itu namanya jengkolen, padahal obatnya gampang, minum air batu es yang banyak, nanti sembuh sendirinya, atau minum pil kb juga bisa, wkatu itu saya juga pernah tuh,alhamdulillah gak lama skaitnya
ReplyDeleteMau ketawa tapi takut dosa Mas. Menghibur Mas
ReplyDeletewah, baru denger penyakit yang satu ini.
ReplyDeletedari sini pun bisa kita ambil hikmahnya bahwa yang berlebihan itu bisa membahayakan, mbok ya bagi-bagi mas jengkole, wkwkwkwk...
ReplyDeleteWkwkwk buah khuldi jawa lah, untuk tidak diusir dari bumi hehe... cepet sembuh mas, biar segera bertobah hahah
ReplyDeletesalam
admin
seragam trans tv
emang sesuatu yang berlebihan itu tidak baik wkwk
ReplyDeleteGak lulus jadi jengkolers nih :)
ReplyDeletehehe, arak ngguyu tapi takut dosa. btw paman saya dulu meinggal karena jengkol juga. jengkol itu unik enak dan berbahaya juga ternyata.
ReplyDeleteHahaha, #kacaw, baca sjk awal sy kira baik2 sj, eh makin kebawah makin dramatis wkwkwkwk
ReplyDeleteGpp dosa, sebab sampean menghibur wkwkwk
Jujur sy bru tw, makanan kaum mariginal tp hrgnya mahal ini trnyt bs bkin org sekarat.
Tp sy mw tny, ni yg makan kn mulut, turun ke perut, tp koq gejalanya smpe ada tepung putih di ujung "penis". Iku sampean bar ngapa yak? Yg dibawah iktn makan jengkol yak? #gagalpaham
waduh, ini namanya jejengkolan donk. kayanya makannya kebanyakan nih
ReplyDeleteTulisannya mantap, detil dan menghibur. Kalau jengkoleun, itu mah terjadi pada orang Sunda seperti saya. Dan bukan sakit perut mas.
ReplyDeleteJengkoleun itu terjadi karena overdosis jengkol yang kena adalah rasa sakit saat pipis..
Hati-hati mas, jaga keselamatan mas..
Manfaat Jengkol ???? Apaan yaa ???
ReplyDeletedulu saya salah satu penggemar jengkol skrg udah pindah ke lain hati yaitu pete. hehe
ReplyDelete