Suatu malam, saya lupa kapan persisnya, perut saya melilit minta ampun. Lapar. Dalam keadaan yang demikian, pesan makanan lewat go-food menjadi solusi yang luamayn bisa diandalkan.
Saya ambil ponsel, buka aplikasi Go-food, otak-atik sebentar, dan langsung saya pesan makanan yang ingin saya nikmati.
“Sesuai aplikasi ya, Mas,” pesan saya melalui aplikasi pada driver Go-Jek di seberang sana yang mengambil orderan saya.
“Ya, mas, ditunggu,” balasnya singkat.
Sembari menunggu driver memesankan makanan yang saya pesan, saya membaca buku kumpulan kolomnya almarhum Bondan Winarno yang “Seratus Kiat” itu. Saya memang menyukai kolom-kolom Bondan Winarno. Ia sosok yang tak hanya fasih mengucapkan kata “Maknyus”, tapi juga piawai menulis kolom yang maknyus pula.
Belum juga tiga halaman saya dapat, si driver Go-Jek sudah mengirimi saya pesan.
“Mas, barangkali sekalian mau top-up Go-pay, Mas” tulisnya
“Boleh, Saya isi 50 ribu, ya,” balas saya.
“Oke, makasih, Mas, berkah dalem,” balasnya lagi.
Saya paham betul kebahagiaan kecil yang dia dapat. Sebagai driver Go-Jek, ia memang mendapatkan bonus poin tambahan setiap kali ada pelanggan yang mengisi saldo Go-pay melalui dirinya. Mangkanya, tak heran jika banyak driver yang kerap menawari pelanggannya mengisi saldo Go-pay.
“Sudah saya kirim,” kata dia
“Nggih, siap, Mas.”
“Semoga lekas menikah, banyak anak, banyak rejeki, banyak teman.”
“Aamiin.”
Didoakan begitu rupa, tentu saja saya girang dan menyunggingkan senyum. Selepas itu, saya merasa geli. Geli karena… ehm, dari mana dia tau kalau saya belum menikah?
Namun bukan itu poinnya. Poin yang cukup membuat saya termenung justru ada pada doa “Semoga banyak teman” itu. Entah kenapa, didoakan begitu, saya kok ya malah merasa agak kikuk dan wagu.
Lha gimana, didoakan begitu, saya seakan-akan jadi merasa seperti orang yang tak punya teman, orang yang dikucilkan, apatis, orang yang dijauhi banyak orang, sampah masyarakat.
“Ya Tuhan, apakah sesempit ini pergaulan saya sampai saya didoakan agar saya punya banyak teman?”
Inilah yang dinamakan tafsiran penerimaan. Apa yang datang baik, tak selalu bisa diterima dan diartikan dengan baik pula.
Saya jadi ingat dengan kawan saya, Niko namanya. Ia bekerja sebagai seorang SPB (Sales promotion Boy) di salah satu gerai alat elektronik di sebuah mal di Magelang.
Ia terbiasa mengantar barang pesanan pembeli sekaligus membantu instalasi, setting, atau pemasangan alat elektronik seperti tivi, kulkas, mesin cuci, dan sebagainya.
Dari memasang alat elektronik tersebut, ia kerap mendapatkan uang tip dari pembeli.
Banyak ucapan yang menyertai pembeli saat memberinya uang tip. Dari mulai “buat jajan”, “buat beli rokok”, sampai “buat uang bensin”. Namun, ada satu ucapan yang baginya terdengar sangat wagu dan cukup mengganggu di telinganya: Buat beli makan.
Tak ada yang salah dengan ucapan “Buat beli makan,” namun ucapan tersebut pada titik tertentu memang terasa berbeda.
“Entah kenapa, pas pembeli bilang ‘buat beli makan ya, Mas’, itu, aku jadi merasa bahwa aku ini orang yang nggak pernah makan dan nggak kuat beli makan,” kata Niko sewaktu bercerita kepada saya. “Aku merasa kere.”
Saya tak bisa berkomentar banyak, sebab bagi saya, memang ada benarnya juga.
Sekali lagi, ini perkara tafsiran penerimaan.
Contoh lain tentang perkara ini yang cukup bisa menggambarkan dengan jelas bagaimana tafsiran penerimaan ini bekerja adalah pengamen di bus kota.
Bayangkan, suatu ketika, Anda naik bus kota yang tak terlalu ramai dengan pengamen di dalamnya. Kebetulan Anda duduk di kursi paling belakang.
Si pengamen selesai menyanyi dan kemudian mulai mengedarkan kantong iurannya. Sial bagi si pengamen, ternyata dari ujung depan sampai deretan kursi belakang, tak ada satu pun yang memberinya duit.
Lebih sial lagi Anda, sebab walau Anda prihatin dengan si pengamen, namun rupanya, Anda pun tak punya uang receh. Sehingga, ketika si pengamen sampai di kursi Anda, Anda hanya bisa tersenyum sambil memberikan tanda maaf dengan tangan.
Si pengamen tampak sebal. Ia kemudian bilang kepada Anda, “Nggih Mas, Semoga perjalanan Anda menyenangkan, semoga selamat sampai tujuan, aman, dan tidak terjadi apa-apa setelah ini.”
Jantung Anda langsung berdesir.
Doa “Semoga tidak terjadi apa-apa setelah ini” tentu saja adalah doa yang baik. Tapi entah kenapa, ia terdengar seperti bukan sesuatu yang baik.
Doa tersebut membuat Anda merasa setelah ini bakal terjadi apa-apa dengan Anda.
Inilah yang dinamakan tafsiran penerimaan.
Saya yakin, Anda pasti pernah mengalaminya. Mungkin berkali-kali.
Kadang.....
ReplyDeletepenerimaan tafsiran tergantung dari mood si penerima...
Semakin sering mengalami, biasanya lebih bisa menerima dan memahami. :)
DeleteHa-ha-ha 🤣🤣🤣 seger kisahnya mas. Izin mengikuti
ReplyDeleteBener gus. Mendoakan orang lain ki yo sebisa mungkin ora marai yg didoakan mikir dg tafsir penerimaan yg berbeda dr niat yg mendoakan.
ReplyDeletePaling penak yo "WYATB" alias "Wish You All The Best". hehe
iya tuh sering bgt ngalami yg kayak gitu. Niatnya orang lain baik tp terkadang memang rada bikin salah tafsir jg buat kita sendiri
ReplyDelete