Dalam sebuah wawancara di salah satu acara talkshow di TVRI yang disiarkan tahun 2003 silam, Cak Nun pernah dengan sangat baik dan menawan menjelaskan tentang epistemologi mudik.
Mudik, menurut Cak Nun kala itu, merupakan pengejawantahan paling dasar atas naluri manusia yang senantiasa punya keinginan untuk kembali pada asal-usulnya. Asal-usul jasmani dan ruhani. Asal-usul berupa kampung halaman, sanak famili, dan juga nuansa budaya yang membesarkan dia sewaktu kecil.
Cak Nun benar. Mudik kali ini, saya menemui asal-usul budaya yang membesarkan saya dalam bentuk “legok”.
Legok bagi saya bukanlah sungai biasa, ia sungai yang penuh kenangan masa kecil yang kadang riang kadang muram.
Saya tak tahu apa nama resminya, namun yang jelas, warga menyebutnya sebagai “legok”. Sebuah sungai kecil yang berada di pinggir kampung. Sungai ini menjadi batas alam yang memisahkan kampung saya dengan kampung sebelah. Sungai ini punya arus yang tak besar. Bentuk tanahnya unik. Kiri dan kanannya dipenuhi oleh hutan bambu yang membuatnya menjadi rindang.
Di sungai inilah, dulu, ketika orang-orang belum punya kamar mandi di rumahnya, membuang hajatnya dengan penuh suka-cita.
Saya ingat betul, dulu, setiap pagi, di sepanjang sungai, setidaknya ada 3-5 orang yang berjongkok untuk berak. Jumlahnya bisa bertambah bisa berkurang. Sungai ini, tiap pagi, memang selalu ramai. Sebelum berangkat bekerja, sebelum berangkat ke sekolah, orang-orang selalu menyempatkan diri untuk berak lebih dahulu.
Orang-orang dengan etel membuka celananya tanpa merasa risih pantatnya terlihat oleh orang di sebelahnya, yang tentu saja juga sama-sama berak.
Kadang percakapan antar mereka terjadi begitu saja. Sambil berak, mereka bisa ngobrol dengan sesama pem-berak lain tentang apa saja. Tentang pendidikan anak, tentang pembangunan masjid, tentang pekerjaan, tentang apa saja. Dialektika terbangun di atas tahi-tahi yang mengambang dan hanyut dibawa arus.
Kami semua punya semacam spot pijakan favorit. Beberapa bahkan membuat penanda tersendiri. Penanda yang kemudian memunculkan semacam aturan tak tertulis yang seolah berkata “Itu tempatku, kalau aku dan kamu kebetulan sama-sama kebelet berak pada waktu yang sama, aku lebih berhak dan lebih otoritatif untuk berak di situ. Kamu carilah tempat pijakan yang lain. Kau boleh pakai tempatku, tapi nanti, kalau aku sudah selesai.”
Karena legok menjadi satu-satunya tempat untuk buang air besar, maka dulu legok selalu stand by 24 jam. Saya pernah kebelet berak jam 1 malam, dan kemudian harus mengumpulkan nyali agar berani turun ke legok dan berak di sana.
Seiring dengan perkembangan jaman dan makin tingginya kesadaran masyarakat akan keberadaan MCK, juga seiring dengan program pemerintah yang menggelontorkan dana PNPM Mandiri yang salah satunya adalah untuk membangun MCK kolektif bagi warga yang rumahnya masih belum punya MCK, legok tak lagi banyak digunakan sebagai tempat buang air besar.
Terakhir, mungkin empat atau lima tahun lalu, masih ada beberapa orang yang berak di legok. Sekarang kelihatannya sudah tak ada.
Kemarin, sepulang dari makam untuk berseh, saya meniatkan diri untuk menengok legok. Rasanya aneh. Airnya tak sederas dulu. Juga tentu saja tak sebersih dulu.
Saya mencoba mencari spot favorit saya. Masih ada. Bentuknya tak berubah.
Ingatan saya kemudian melayang pada fragmen tahi-tahi yang jatuh dari dubur ke air yang kemudian menghasilkan bunyi mak-plung dengan irama yang begitu ritmis dan melodis. Saya melihat bayangan Agus kecil di sana. Bayangan bocah kecil dengan pantat yang tentu saja sangat tidak menyelerakan, berjongkok, seraya menyanyikan lagu soundtrack Jin dan Jun.
Ya Tuhan, kenapa tempat berak bisa sesentimentil ini.
Benar apa kata orang bijak, setiap silit punya sejarah dan kisahnya sendiri-sendiri.
kampul2 yo Gus,,
ReplyDeletewk wk wk..
ReplyDelete