Di jaman yang serba Yutub dan serba Spotifai seperti sekarang ini, siapa yang tak kenal dengan Rihanna. Salah satu diva paling moncer dalam blantika musik pop dunia saat ini.
Mangkanya, hati saya mongkok setengah modar setelah saya dikasih tahu kalau saya berkesempatan mewawancarai Rihanna di sela-sela kesibukannya saat mempersiapkan rangkaian konser tour Asia Tenggara-nya.
Jogja yang merupakan tempat Rihanna menghabiskan waktu masa kecilnya dipilih menjadi salah satu kota yang kebagian jatah konsernya selain Bangkok, Ho Chi Minh, Phnom Penh, dan Dili.
Atas lobi-lobi seorang kawan yang ndilalah menjadi panitia konser, saya mendapatkan akses untuk mewawancarai Rihanna langsung di hotel tempat dirinya menginap di bilangan Jalan Kaliurang.
Saya diantar ke hotel tempat Rihanna menginap oleh salah satu LO yang mengurusi akomodasi Rihanna. Katanya, Rihanna sudah tahu dan susah diberi tahu dan sudah mempersiapkan diri untuk diwawancara.
Rihanna sendiri yang membukakan pintu kamar hotel untuk saya. Ternyata ia sendirian saja di kamar.
“Iki mas sing meh wawancara aku, yo?” Tanyanya dengan senyum yang menawan.
“Ehm… enggih, Mbak,” jawab saya gugup.
Ia kemudian mempersilakan saya untuk duduk di kursi.
Di ruang tamu di kamar hotel, saya serasa melayang penuh rasa tidak percaya. Bagaimana tidak, saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan salah satu diva tersukses di dunia, bahkan bisa mewawancarinya secara eksklusif.
Namanya juga diva internasional, hotelnya pun tentu saja muewah. Ruang tamu kamar hotelnya sangat luas. Saya taksir, tarif menginap per malamnya pasti lebih dari 10 juta rupiah.
“Kosek yo, Mas. Aku tak lipenan ndisik, ben lambene ketok seger pas direkam,” ujarnya pada saya yang masih dipenuhi dengan perasaan senang bercampur tidak percaya.
Saya sempat terdiam beberapa saat, masih tak percaya seorang Rihanna ada di depan mata saya. Namun perlahan, saya mulai bisa menguasai keadaan dan mulai terbiasa.
Begitu selesai dengan bibirnya, Rihanna kemudian duduk di kursi sofa berwarna krem dengan posisi duduk yang sangat anggun. Cara duduknya benar-benar merepresentasikan cara duduk seorang diva kelas atas.
Ia memakai blazer putih dengan bawahan berwarna hijau ngejreng seperti warna rompi pak ogah. Blazernya yang putih membuat tubuhnya yang hitam manis tampak semakin eksotis. Bongkahan pahanya yang sehat dan tampak begitu terawat menyembul dengan sangat provokatif, membuat dada saya beberapa kali berdesir kencang.
Sembari saya mengeset peralatan wawancara, ia tak henti-hentinya menyunggingkan senyum sembari sesekali menanyakan pertanyaan-pertanyaan remeh pada saya.
“Wis suwe, Mas, dadi wartawan?” tanyanya.
Saya sedikit kaget mendapatkan pertanyaan mendadak tersebut, saya tak menyangka bahwa ia ternyata punya inisiatif untuk bertanya lebih dahulu. Mungkin ia paham dengan kegugupan saya, sehingga ia mengambil menuver cantik untuk memecah kebekuan dan kegugupan saya.
“Ehm… eh, lumayan lah, Mbak. Yo wis rong tahun iki…” jawab saya dengan agak terbata. “Maune aku kerjo serabutan, kadang dadi kurir, kadang dadi admin sosmed, kadang yo dadi penulis lepas.”
“Yo teko ditlateni wae, Mas. Sing penting ono hasile…”
“Nggih, Mbak Rihanna…” jawab saya
“Halah, rasah nganggo mbak, teko Rihanna thok, koyo ro sopo wae lho.”
“Siap, lapan anam, Mbak Riha… eh, Rihanna.”
Peralatan wawancara sudah siap. Kamera sudah stand by. Perekam juga sudah diset. Saya langsung membuka buku catatan saya yang di dalamnya sudah berisi dengan daftar pertanyaan yang ingin saya tanyakan.
Namun, belum sempat saya membuka halaman yang berisi daftar pertanyaan, Rihanna buru-buru memotong.
“Welha, rasah repot-repot nganggo catetan barang. Teko ngobrol santai wae,” katanya. “Anggep wae lagi ngobrol karo konco dhewe…”
Saya terpaksa menuruti apa saran Rihanna. Walaupun dalam hati, saya masygul juga, sebab sehari sebelumnya, saya sudah begadang mempersiapkan banyak pertanyaan dan sudah saya catat di buku catatan. Tapi yah, mau bagaimana lagi, kalau Rihanna sudah berkehendak, saya bisa apa. Lagipula, saya juga takut ia tidak nyaman jika saya mewawancarai dia dengan mengunakan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan.
“Oke, jadi teko ngobrol santai wae, ya?”
“Hoo, teko ngobrol santai wae.”
Saya pun mulai mencoba memancing wawancara dengan pertanyaan seputar konsernya yang akan diselenggarakan di stasion Kridosono, pekan depan.
Konon, Rihanna sengaja memilih stadion Kridosono sebagai tempat konsernya karena mengingatkan dirinya dengan masa kecilnya. Stadion Kridosono, menurut Rihanna merupakan tempat yang penuh kenangan dan secara tidak langsung memengaruhi karier bermusiknya.
“Jadi ngene, Mbak…” kata saya.
“Nah, tho, dikandani ngeyel, wis tak kandani rasah nganggo ‘Mbak’ kok yo iseh dibaleni wae.”
“Oiya, lali…”
“Ngene, Rihanna,” ujar saya. “Ah, ketoke ora pantes je nek aku ngundang sampeyan tanpo ‘Mbak’, aku ngundange ‘Mbak Rihanna’ wae yo, ben luwes…”
“Yo wis, saksakmu.”
“Ngene, Mbak. Sampeyan kan milih stadion Kridosono dadi venue konsere sampeyan minggu ngarep. Nah, iso dicritakke ora ngopo sampeyan milih stadion Kridosono? Padahal neng Jogja kene kan akeh tempat sing luwih mashoook nek ngge konser, misal Candi Prambanan, sportorium UMY, JNM, po nggon liyane ngono.”
Rihanna tampak memasang pandangan menerawang. Ingatannya seakan melayang jauh ke belakang.
Ia bercerita bahwa di stadion itulah pertama kalinya Rihanna berkesempatan menonton konser Nicky Astria, penyanyi gaek yang kelak menginspirasi Rihanna untuk menjadi seorang penyanyi.
“Aku isih cilik pas kuwi, Mas. Ketoke kelas 1 SMP. Wektu kuwi aku diajak budeku sing ndilalah ngefans banget karo Nicky Astria,” kenangnya. “Saking ngefans’e karo Nicky Astria, Budeku kuwi ngasi njenengi anak wedoke Yayuk Astria.”
Saya tertawa kecil.
Rihanna mengubah posisi duduknya. Kali ini dengan kaki menyilang yang membuat pahanya tampak semakin provokatif saja.
“Aku maune ora patio mudeng sopo kuwi Nicky Astria, tapi aku teko gelem wae diajak budeku. Tekan kono, aku akhire ngerti, jebul Nicky Astria ki penyanyi rock wedok” kenangnya.
“Trus sampeyan melu ngefans karo Nicky Astria?”
“Hoo… Pas aku nonton deknen nyanyi kuwi, jan, aku langsung yakin nek aku kudu ngefans karo mbak penyanyi siji iki,” jelas Rihanna. “Suarane kuwi lho, serak-serak ngerock, pokoke uapik pooool.”
“Nek Nicky Astria ngono pancen lejen, jaminan mutu,” kata saya.
“Aku iseh kelingan biyen pas Mbak Nicky nyanyi lagu ‘Jarum Neraka’, wah, pokoke suangaaaar pwooool.”
Rihanna kemudian berdiri dan mencoba menirukan bagaimana Nicky Astria menyanyikan lagu yang bercerita tentang bahaya narkoba tersebut.
“Jarum-jarum setan bisa mencabut nyawa…
“Bila kau tak cepat berhenti memakainya...
“Tanpa kau sadari tanpa engkau rasakan…
“Kau bunuh dirimu secara perlahan…
Usai memberikan sedikit aksi menyanyi tersebut, Rihanna kemudian duduk kembali. Kali ini ia duduk di kursi tak jauh dari kamera yang sudah saya pasang, sehingga saya terpaksa harus mengubah posisi kamera.
“Terusan lirik’e aku lali, hehehe,” katanya sambil meringis geli.
Saya ikut geli.
“Wis lah, pokoke Mbak Nicky ki juara,” kata dia. “Pas Mbak Nicky kuwi nyanyi, aku ndelok penonton sak Kridosono podo melu nyanyi kabeh. Pokoke suangar lah, Mas,” lanjutnya.
“Wah, aku njuk melu mbayangke rasane nonton konser Nicky Astria neng Kridosono, Mbak”
“Pokoke meriah, Mas. Gara-gara kuwi aku akhire pengin dadi koyo Mbak Nicky Astria. Aku njuk nduwe cita-cita dadi penyanyi. Mangkane, nek aku saiki dadi penyanyi gedhe koyo saiki, kuwi salah sijine mergo biyen aku nonton Mbak Nicky neng Kridosono.”
“Oalah, jadi kuwi alesane sampeyan mekso milih panggon konsere neng Kridosono?”
“Hoo, Mas!”
Saya kemudian bertanya tentang masa kecil Rihanna di Jogja. Seperti diketahui, Rihanna memang menghabiskan masa kecil sampai masa remajanya di Jogja sebelum akhirnya hijrah ke Manhattan, New York, untuk mengejar mimpinya sebagai penyanyi internasional.
Masa kecil Rihanna di Jogja boleh dibilang penuh dengan kisah keprihatinan.
Ayahnya kala itu bekerja sebagai asisten bong supit dengan gaji yang tak menentu. Sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai penjual sayur keliling.
Berada dalam keadaan serba kekurangan, Rihanna terpaksa harus ikut bekerja sepulang sekolah demi membantu keluarganya. Berbagai pekerjaan sambilan ia jalani demi mendapatkan uang untuk biaya makan dan tambahan uang sekolahnya.
“Mergo kahanan aku kepekso nyambut gawe nggo keluargaku, Mas,” ujarnya lirih. “Kadang aku adol koran, kadang aku dadi tukang umbah-umbah,” lanjutnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Mendengar jawabannya itu, timbul simpati dan rasa kekaguman saya pada sosok diva yang satu ini. Betapa dia memulai kesuksesannya dengan penuh kerja keras. Saya memang tahu tentang kisah pilu kehidupan Rihanna semasa kecil, namun saya tak menyangka jika kisahnya semenyedihkan itu.
Kendati hidup dalam kesusahan, Rihanna tak lantas larut dalam keadaan. Rihanna justru makin semangat mengejar impiannya menjadi seorang diva.
“Pokoke diva harga mati!” kata Rihanna bersemangat. “Ora diva, ora!”
Kehidupan masa lalunya yang susah itu nyatanya justru ikut menjadi perantara berkah dan kejayaan bagi kariernya. Mental hidup susahnya yang sudah teruji saat kecil membuat Rihanna tidak lantas menjadi pribadi yang boros dan sombong setelah merengkuh kesuksesan.
Selain itu, banyak dari lagu-lagu Rihanna yang tercipta karena terinspirasi oleh kehidupan masa susah Rihanna. Salah satu lagu yang paling terkenal tentu saja adalah lagunya yang berjudul “Umbrella”
Lagu “Umbrella” yang hampir semua orang hafal liriknya, setidaknya pas bagian “Ella… ella… e… e…” itu masuk dalam berbagai chart teratas di banyak stasiun radio di berbagai negara. Dari Amerika sampai Honduras. Dari Italia sampai Trinidad Tobago.
Saya mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut tentang lagu itu, dan Rihanna memceritakan satu rahasia besar tentang “Umbrella”.
“Lagu ‘Umbrella’ iki lirike terinspirasi seko uripku rikolo jaman sengsoro, Mas,” terangnya dengan mata yang semakin basah.
Rihanna sempat terdiam cukup lama ketika saya menanyakan hal itu lebih jauh.
“Jaman biyen, selain mburuh dadi loper koran, aku yo kerep nyambi dadi ojek payung pas mongso udan, Mas,” ujarnya.
Kali ini, pertahanan air matanya tak bisa ditahan lagi. Air matanya jebol. Maskaranya mulai luntur tak beraturan. Saya reflek mengambil tissu yang berada di meja dan memberikannya pada Rihanna.
Ia kemudian menghapus air matanya dengan tissu bermerek Alfamidi yang baru saja saya sodorkan padanya.
“Aku nek kelingan jaman semono mesti trenyuh, Mas,” Katanya terisak. “Bali sekolah, begitu udan, aku langsung nyangking payung njuk budhal terminal, ngojek payung.”
“Wah, uripe sampeyan kebak perjuangan yo, Mbak?”
“Iyo. Bocah liyane udan-udanan nggolek seneng, aku udan-udanan nggolek pangan, mas…”
“Opo ora wedi keno masuk angin?”
“Halah, aku wis ra sempet mikir masuk angin, aku mikire piye carane nggolek duit. Ora kudanan ora mangan.”
Menurut Rihanna, di lagu Umbrella, ia bercerita tentang seorang sahabatnya sesama pengojek payung yang tersambar petir. Demi kesembuhannya, sang sahabat terpaksa harus menjalani terapi di sebuah klinik pengobatan alternatif.
“Jenenge Marni, deknen tonggo deso, bocahe mesakke, podo mlarate koyo keluargaku,” tuturnya. “Saiki bocahe wis rabi, tangan kiwone kudu diamputasi.”
Rihanna kemudian beranjak dari kursinya, berjalan menuju jendela, ia memandangi pemandangan kota Jogja dengan tatapan yang kosong.
Saya tak berani menganggunya. Ia terdiam cukup lama.
Ia lantas kembali ke kursi dengan air mata yang sudah semakin menggenang.
“Dingapuro ya, Mas…” ujarnya dengan suara yang parau karena ia tak bisa menangis tangis. “Aku kegowo perasaan.”
“Iyo, rapopo, Mbak. Aku ngerti perasaane sampeyan.”
Kondisi tersebut membuat saya memutuskan untuk menghentikan sesi wawancara. Saya merasa tak bisa menanyakan lebih banyak pertanyaan sebab Rihanna tampak sangat emosional dan sentimentil mengenang masa lalunya. Kondisi Rihanna sedang tak stabil.
“Nggih mpun, Mbak Rihanna. Wawancarane teruske kapan-kapan wae, dilanjut lewat email, nek saiki ketoke ora kondusif,” terang saya.
“Iyo, Mas… pisan meneh, aku njaluk ngapuro, yo”
“Santai, Mbak…”
Agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan, sembari membereskan peralatan wawancara, saya pun mencoba mengalihkan pembicaraan seputar menu diet dan kiat-kiat menjaga kebugaran tubuh di tengah aktivitasnya yang padat.
Rihanna kembali terdiam larut akan kenangan masa lalunya.
“Bali sekolah aku yo kerep dodolan kacang godok neng terminal Giwangan, Mas,” ujar Rihanna sembari kembali menangis meraung-raung. Saya jadi kelimpungan sendiri. Untung peralatan wawancara sudah saya kemasi dan saya masukkan tas, sehingga saya bisa menenangkan Rihanna sembari menepuk pundaknya.
“Rasah terlalu dieling-eling, Mbak. Kuwi kan wis dadi masa lalu.”
Ia hanya terdiam dan terisak.
Sambil beranjak untuk keluar dari kamar, saya mencoba memberikan sebuah pertanyaan terakhir terkait dengan persiapan-persiapan menjelang peluncuran album terbarunya.
“Btw, Mbak Rihanna, peluncuran album terbaru sampeyan itu kiro-kiro kap…”
“Kabeh ikhlas tak lakoni, sing penting halal, Mas” ujarnya setengah berbisik sembari menyeka air matanya yang masih mengalir.
- - - - - -
Ditulis untuk Album Agan Harahap: “Rihanna dan Payungnya” - Showroom Mama, Witte de Withstraat 29 - 31, 3012 BL Rotterdam, Netherlands, 29 Maret 2019.
0 komentar :
Post a Comment