Di rumah, seharian kemarin, Kalis memakai daster yang sangat menyedihkan. Buruk dari sisi estetika, corak, warna, sampai bahan kainnya. Yang paling menyedihkan tentu saja adalah sobekan di bagian punggung sehingga menyisakan lubang yang cukup besar.
Hal tersebut tentu membuat saya agak sedih dan sentimentil. Saya merasa gagal sebagai seorang suami karena tak bisa memberikan sandang yang layak sesuai dengan amanat butir keempat dalam 10 program pokok PKK.
Kesedihan saya agak berkurang, sebab Kalis kemudian menjelaskan alasan dia pakai daster yang sobek bagian belakangnya itu. Dia murni pakai daster itu karena memang longgar dan nyaman dipakai, bukan karena keterpaksaan.
Saya bersyukur mendengarkan penjelasannya. Entah penjelasan yang jujur atau hanya ingin menenangkan saya saja, tapi yang jelas saya jadi agak tenang.
Kendati demikian, saya merasa perlu untuk bilang ke Kalis agar lain kali tak usah lagi memakai daster itu.
“Kalau cuma dasternya yang jelek, nggak papa. Tapi kalau sobek dan berlubang, ya mbok nggak usah dipakai.”
“Ya, Mas. Besok nggak aku pakai lagi.”
“Lagian, itu kenapa sih bagian punggungnya kok bisa koyak begitu?”
”Nah, itu dia yang aku bingung, Mas, Perasaan beberapa waktu yang lalu baik-baik saja lho.”
“Masak?”
“Aku malah curiga, jangan-jangan Mas yang menyobek bagian punggung dasterku saat aku pakai tidur.”
Tentu saja saya tertawa. Keras. Betapa hipotesisnya soal sobekan dasternya itu kok bisa seliar itu.
“Jigur, Mbok pikir kamu Nabi Yusuf dan aku Zulaikha-nya?”
0 komentar :
Post a Comment