Tentu saja, saya bukan orang yang makmur-makmur amat. Tapi saya juga merasa nggak terima kalau disebut miskin. Gaji saya sebagai redaktur ditambah honor sebagai pemateri kelas menulis di sana-sini (uhuk!) masih lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan sesekali diselingi gaya hidup semi-hedon.
Saya hampir selalu punya cadangan uang walau tak banyak. Dan itu cukup bagi saya untuk membeli barang-barang yang mungkin tidak terlalu saya butuhkan.
Dan selayaknya orang kebanyakan, orang-orang yang hatinya masih cukup “manusia”, saya tak pernah tidak bisa iba pada orang-orang tua sepuh yang berjualan barang yang dalam perhitungan logika saya bakal sangat susah lakunya. Dan karena perasaan itu pulalah, saya sering membeli barang yang mereka jajakan kalau saya bertemu salah satu dari mereka.
Kalau pas di Indomaret, ada orang tua jualan makanan, maka tak butuh waktu lama bagi saya untuk ikut membeli dagangannya. Perkara makanan itu nanti dimakan atau tidak, enak atau tidak, itu urusan nomor enam. Nomor satu sampai lima tetap Pancasila.
Kalau ada ibu-ibu tua menjajakan hiasan rumah dan kerajinan, asal harganya masuk akal, maka besar kemungkinan saya bakal membelinya. Walau saya sadar, hiasan tidak akan menambah estetika rumah saya dengan signifikan.
Kebiasaan itu memang kadang melahirkan semacam kepuasaan batin tersendiri bagi saya. Ikut menjadi perantara rejeki bagi orang lain yang dalam pandangan kasat mata saya, rejeki duitnya lebih seret ketimbang saya.
Namun tentu saja, ia kadang juga melahirkan pergulatan batin yang hebat juga.
Selalu ada kondisi di mana saya bingung untuk menentukan, bakal beli atau tidak. Utamanya bila yang dijual adalah barang-barang yang bakal membuat saya susah untuk membawanya.
Saya pernah bertemu di jalan dengan seorang tua dengan kondisi tubuh yang sangat bungkuk dan ringkih. Kondisi yang sudah pasti langsung memancing iba saya sebagai lelaki berhati lembut (uhuk!) dan mudah terharu.
Ingin sekali saya membeli barang yang ia jual. Tapi saya harus berpikir dua kali, sebab barang yang ia jual justru berpotensi membuat saya repot sendiri: tangga bambu.
Ia berjalan, gontai, pelan sekali, sedangkan saya naik motor. Ini dilematis. Saya mulai berpikir skenario apa yang bisa saya lakukan untuk menolong si penjual tangga tanpa menurunkan harga dirinya, tapi juga tidak merepotkan saya untuk membawa tangganya.
Saking lamanya saya memikirkan berbagai skenario yang bisa diambil, tanpa sadar, motor saya sudah melaju jauh meninggalkan si kakek penjual tangga.
Semakin jauh jarak yang saya tempuh, semakin kecil pula niat saya untuk membeli tangganya. Dan sialnya, itu kemudian melahirkan aneka pertanyaan asumtif yang mendadak muncul dan berputar-putar di kepala saya. Apakah si Kakek nanti bakal laku tangga jualannya? Kalau bukan saya yang beli, lantas siapa? Kalau saya harus putar balik untuk membeli tangganya, tidakkah itu konyol? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan asumtif lainnya.
Beberapa pertemuan saya dengan pedagang tua tidak berakhir dengan transaksi. Terkadang saya memutuskan untuk mengabaikannya dan berharap ada orang lain yang membeli dagangannya.
Kelak, di Facebook, saya mendapati cerita menyedihkan. Tentang seorang pedagang kerupuk yang menangis karena kerupuknya tidak laku padahal kondisi dia sedang sangat kelaparan.
Saya berpikir untuk mulai mengambil sikap, mulai menegaskan diri untuk tidak terlalu banyak mikir kalau ada pedagang tua yang dengan tampang melas tampak susah payah menjajakan dagangannya.
Saya ingin membulatkan tekad. Hingga pada akhirnya, saya mendapati kenyataan bahwa kebulatan tekad itu bisa melahirkan penyesalan.
Saya bertemu dengan penjual sapu. Jiwa iba saya langsung meluap-luap. Tekad saya bulat untuk membeli sapunya padahal uang di tangan kala itu sedang tidak banyak-banyak amat.
Harga sapu yang ia jajakan ternyata agak mahal. Tiga puluh ribu. Lebih mahal dari harga pasaran sapu biasanya. Ah, tak apa. Mungkin ia sengaja menjual sapunya agak mahal karena memang sedang blas nggak punya uang.
Saya kemudian membayar dengan uang pecahan lima puluh ribu. Kembali dua puluh ribu.
Ketika ia akan memberikan uang kembalian, saya melihat dengan jelas kantongnya yang penuh dengan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribuan. Ia mencoba mencari pecahan dua puluh ribuan di antara lembaran-lembaran lima puluh ribuan dan seratus ribuan yang ia miliki.
Mendadak, semacam ada sesal dalam diri saya. Entah kenapa, saya jadi ingin mengibai diri saya sendiri. Sebab uang di kantong saya bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan uang yang ada di kantong tukang sapu itu.
Saya merasakan semacam hal yang oleh Prie GS budayawan Semarang itu, ia deskripsikan dengan “Betapa repotnya rasa iba jika kita harus mengibai seluruh derita yang ada di dunia.”
Ah, pusing. Apakah Anda pernah berada dalam posisi demikian? Semoga saja pernah. Biar saya tidak sendirian.
0 komentar :
Post a Comment