Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Balas Dendam Kursi Kayu

| Thursday, 23 April 2020 |

Sejak menempati rumah yang saya kontrak sekarang ini, saya ingin sekali mengubah halaman depan menjadi semacam ruang nongkrong. Walau kecil, tapi saya ingin ada kegiatan kecil-kecilan kayak diskusi buku, nonton film, dsb. Atas dasar itulah, saya meniatkan diri untuk suatu saat membeli kursi untuk saya letakkan di teras dan halaman depan.

***

Lima bulan lalu, saat mengantarkan Kalis memasukkan laundrian, Kalis berseru pada saya saat dirinya melihat ada penjual kursi yang melaju dengan motornya di sebelah saya.

“Mas, itu ada bapak-bapak jual kursi. Katanya Mas mau beli kursi,” ujarnya.

Saya langsung melihat ke arah penjual kursi tersebut. Ia melaju menyalip kami. Entah kenapa, saya ragu waktu itu untuk mengejarnya atau tidak.

Saya akhirnya memutuskan untuk tidak mengejarnya karena harus berbelok untuk memasukkan laundrian.

Saat di Laundrian itulah saya agak merenung. Kenapa tadi saya tidak mengejar si penjual kursi tersebut ya. Saya sedang butuh kursi, dan ia sedang menjual kursi. Harusnya ada transaksi yang sama-sama menguntungkan antara kami berdua. Dan gara-gara keraguan saya, transaksi itu urung terjadi.

Saya akhirnya menyuruh Kalis cepat-cepat menyelesaikan urusannya di Laundrian.

“Lis, ayo kejar penjual kursi yang tadi. Semoga belum jauh,” kata saya.

Kami kemudian mengejar si penjual kursi tersebut. Tapi sayang, hasilnya nihil. Ia tak terkejar. Kami kehilangan jejak. Kemungkinan ia berbelok masuk ke jalanan kampung.

“Mas sih, tadi harusnya langsung dikejar pas aku kasih tahu,” kata Kalis. “Mas malah milih ke laundrian dulu.”

“Iya, harusnya aku kejar sejak tadi.”

Sampai rumah, Kalis berkali-kali membahas kejadian tadi. Kata-kata Kalis sungguh membikin saya tak tenang.

“Andai saja tadi Mas jadi beli kursinya, bayangkan, ada berapa orang yang akan berbahagia? Mas bahagia karena dapet kursi, penjualnya bahagia karena dagangannya laku, trus anak-istri si penjual kursi juga pasti bahagia karena mereka pasti dibelikan sesuatu.”

Berhari-hari kemudian, Kalis masih saja nggodani saya dengan ucapannya tentang pedagang kursi itu.

Saya memang punya kebiasaan membeli sesuatu dari pedagang yang menjajakan barangnya secara keliling alih-alih pedagang yang menggelar dagangannya di lapaknya. Semacam apresiasi atas usahanya berkeliling (tentu saja tanpa mengecilkan upaya orang yang berdagang dengan membuka lapak).

“Andai saja waktu itu Mas jadi beli kursinya,” ujarnya sambil cengengesan, ia tahu betul bagaimana cara membuat hati saya mencelos.

“Bayangkan, Mas. Bayangkaaaaaaan.”

Hadeeeeeeeh.

***

Sore tadi, saat perjalanan pulang dari kantor, saya akhirnya bertemu dengan penjual kursi keliling. Ia melaju cukup kencang. Maklum, sudah sore, tampaknya ia ingin cepat-cepat pulang.

Saya tak ingin mengulangi kesalahan yang pernah saya lakukan lima bulan lalu. Kali ini, saya harus membeli kursi ini.

Maka, saya kebut motor saya. Saya berhentikan si pedagang kursi tersebut.

“Mas, ikut ke rumah saya, saya mau beli kursinya,” kata saya. Saya tak ingin menawarnya. Bodo amat.

Tampang si penjual kursi berubah sumringah. Maklum, tumpukan kursinya masih sangat banyak. Kelihatannya belum ada yang laku.

Menjual kursi keliling di masa pandemi tentu bukan hal yang mudah. Banyak kampung menutup akses masuk.

Setelah ngobrol sebentar, ia kemudian mengikuti saya dari belakang.

Sampai di rumah, ia langsung membuka tali pengikat kursi. Perlahan, ia turunkan semua kursinya. Ia mempersilakan saya memilih kursi yang ingin saya beli.

“Yang pendek ini berapa, Mas?”

“250 ribu, Mas.”

“Kalau yang agak panjang?”

“Yang agak panjang 300 ribu, Mas.”

“Nggih, saya beli dua.”

Ia tampak kaget sekaligus senang. Sudahlah nggak bawar, belinya dua pula.

Kondisi keuangan saya seminggu belakangan ini memang sedang agak mantap. Penjualan paket buku Pak Quraish Shihab di Akal Buku sedang bagus-bagusnya. Rasanya tak ada salahnya kalau saya ikut membagi kemantapan ini pada penjual kursi yang belakangan saya ketahui nglaju dari Boyolali ini.

Setelah uang saya serahkan, ia pun kemudian mengangkat kursi yang saya beli dan membawakannya ke depan teras rumah.

Kalis kemudian muncul membukakan pintu.

“Lho, akhirnya dapat kursi,” ujarnya semangat.

“Aku ingin menebus kesalahan yang dulu,” kata saya agak lirih.

Kalis kemudian beralih ke penjual kursi asal Boyolali itu.

“Asalnya dari mana, Mas?” tanya Kalis.

“Boyolali, Mbak.”

“Hah?” Kalis terkaget,“ Trus dari Boyolali berangkat jam berapa?”

“Berangkat subuh, Mbak.”

“Bawa berapa dari Boyolali?”

“Tadi bawa kursi empat, meja satu. Mejanya sudah laku. Trus kursinya yang dua laku barusan sama Mase ini,” ujarnya sembari melihat saya.

“Anak berapa, Mas?”

“Dua, Mbak. SD semua.”

“Ooooh.”

Kalis kemudian masuk rumah. Saya asyik tiduran ngereyen kursi baru. Saya hisup aroma kayunya. Ah, masih bau Boyolali. Sedaaaap.

Mas penjual kursi kemudian merapikan kursi yang tadi ia turunkan. Ia naikkan kembali ke atas jok motor.

Baru dua-tiga tarikan napas, Kalis sudah keluar dan kemudian menghampiri si penjual kursi. Ia menyerahkan uang kepadanya.

“Buat jajan anak-anak.”

Si penjual kursi menerima dengan roman muka yang menggembirakan. Ia kemudian pamit.

“Suwun ya, Mas, Mbak.”

“Ya, Mas...” kata kami kompak.

“Tadi kamu kasih dia berapa, Lis?” kata saya setelah si penjual kursi berlalu.

“Seratus ribu.”

“Hah, seratus ribu? Dia sudah aku beli kursinya lima ratus lima puluh ribu, kamu tambahin lagi seratus ribu?”

“Aku nggak ngasih dia kok, aku ngasih anaknya,” kata Kalis defensif. “Lagian nggak papa, istri dia pasti seneng. Laki-laki itu, kalau punya duit, dia pasti jadi baik sama anak istrinya. Nggak mungkin dia nggamparin istrinya.”

“Emang gitu?”

“Ya banyak kasus kayak gitu.”

“Wah, besok kalau aku nggak punya duit dan aku nggamparin kamu, gimana, Lis?”

“Ya aku gampar balik, lah. Wong lengenmu sama lengenku aja masih gedean lengenku.”

Saya kecut. Saya melirik lengan Kalis. Memang benar-benar lengan yang sentosa.

Kalis masuk ke rumah. Saya masih asyik tiduran di kursi sambil menghirup kayu kursi beraroma penebusan kesalahan itu.




Sawer blog ini

0 komentar :

Post a Comment

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger