Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Selamat Lebaran

| Saturday, 23 May 2020 |

Ada satu ritual sederhana yang selalu saya lakukan tiap kali lebaran datang. Memakan tape ketan buatan nenek yang memang sengaja nenek bikin hanya setahun sekali saat lebaran.

Itu tapi ketan spesial. Rasanya ciamik. Ia bukan hanya bergoyang di lidah, tapi juga berdansa di sana.

Saya tidak sedang membual, sebab memang berdasarkan penilaian lidah saya, tape ketan buatan nenek adalah salah satu tape ketan terbaik yang pernah saya santap.

Saya tak mau berdebat tentang apa sebab tape ketan yang secara penampilan sangat biasa itu bisa terasa sangat enak. Dugaan goblok saya karena tape itu dibikin dengan melibatkan cinta di dalamnya. Ini alasan yang mungkin sangat bucin, tapi sangat masuk akal.

Sesuatu yang dibikin dengan cinta, memang akan selalu penuh dengan kesempurnaan.

Tiap lebaran, tape ketan buatan nenek selalu mendapatkan pujian dari banyak sanak kerabat yang ujung (bersilaturahmi) ke rumah nenek.

Serentet pujian dari kerabat dan anak-anak cucu itulah yang, menurut dugaan saya, memberikan semacam semangat tersendiri bagi nenek agar bisa membuat tape yang tetap atau lebih enak di lebaran-lebaran tahun berikutnya.

Nenek saya kini memang menjadi satu dari sedikit sesepuh dalam keluarga besar saya. Ia menjadi tujuan ujung bagi banyak anggota keluarga jauh yang memang sudah berpencar entah ke mana.

Tiap kali ada sanak saudaranya yang datang, ia pasti kemudian memanggil saya, bapak saya (yang kebetulan rumahnya sebelahan), atau anak cucu yang lain untuk memperkenalkannya kepada sedulurnya itu.

“Gus, kenalkan, ini namanya Pak Haryono, masih sedulur sama kamu, dia anak dari adiknya almarhum mbahmu,” ujar nenek. “Haryono ini tinggalnya di Salatiga, kapan-kapan kalau kami ke Salatiga, mampir, biar tetap gandeng seduluran.”

“Kalau yang ini namanya Sugeng, Gus. Masih ponakanku, kamu boleh manggil Pakde, tinggalnya di Purworejo. Jangan lupa kapan-kapan mampir. Biar pasedulurannya nggak pedot.”

Begitulah. Nenek selalu bahagia ketika memperkenalkan saya dengan saudara-saudara saya yang jauh. Saudara-saudara yang bahkan mungkin tidak saya kenal jika tidak dikenalkan oleh nenek.

Nenek akan semakin bersuka cita saat ada sanak sedulur cucu-cucu jauhnya itu memakan tape ketan buatannya dengan lahap. Ia bahkan siap mengedarkan plastik kresek kalau ada yang mau sangu tape ketan buatannya.

“Enak tho? Jelas, buatan simbah kok. Nanti kamu sangu ya, buat dimakan di jalan,” kata Nenek sumringah.

Bagi nenek, mungkin sudah tak ada kebahagiaan lain selain melihat saudara-saudaranya, anak-anak, cucu-cucu, buyut-buyutnya berkumpul, saling mengenal, sambil berharap semoga kelak mereka akan saling melanjutkan persaudaraan.

Kebahagiaan yang mungkin hanya bisa tervalidasi tiap kali lebaran datang.

Maka, ketika pandemi corona ini bertamu, saya tak bisa membayangkan, betapa akan sunyi dan senyapnya pengalaman lebaran nenek tahun ini.

Kepada nenek, saya sudah bilang bahwa tahun ini saya tak bisa pulang ke Magelang. Saya pikir, itu pula yang terjadi pada saudara-saudaranya yang lain dari luar kota. Lebaran tahun ini, akan banyak sanak saudara yang tak pulang dan menyambangi nenek.

Lebaran tahun ini, nenek saya akan melewati salah satu lebaran terberatnya. Baru beberapa bulan yang lalu adik satu-satunya meninggal, kini ia harus menerima kenyataan bahwa kesempatannya untuk bertemu dengan anak-cucunya di hari lebaran tahun ini juga kandas.

Anak cucunya yang tiap lebaran selalu menunjukkan wajah gembira saat menyantap tape ketan itu tidak akan ia temui.

Saya membayangkan, betapa ia akan tetap memasak tape ketan dengan jumlah yang sama, untuk kemudian menatapnya lekat-lekat di hari kedua lebaran sebab jumlah tape ketannya itu tak banyak yang berkurang.

Ia akan menatap toples-toples berisi kudapan yang sudah ia sediakan khusus untuk anak cucunya yang ternyata tidak pulang. Toples-toples berisi jipang, klici, unthuk cacing, kacang telor, dan makanan-makanan tradisional lainnya yang jumlahnya tak akan menyusut itu.

Nenek tahu apa itu corona, ia tahu bahwa corona adalah pageblug, namun tentu saja ia tak akan menyangka. bahwa pageblug itu sedemikian jahatnya sampai mencegah anak-anak cucunya untuk pulang dan menemuinya.

Sembari menulis ini, saya mencoba membayangkan wajah nenek, wajah yang mengisyaratkan bahwa ia tak takut dengan corona atau penyakit apa pun, ia jauh lebih takut pada sepi dan kesendirian yang perlahan mulai ia rasakan seiring dengan ketidakhadiran anak-cucu dan kerabat-kerabatnya.

Ya, tahun ini, akan ada parade wajah-wajah tua dan renta dari kakek dan nenek di banyak daerah di Indonesia. Parade wajah sendu yang harus menerima kenyataan bahwa corona menghancurkan salah satu kebahagiaan terbesar mereka.

Ya Tuhan, Panjangkanlah umur mereka. Berikanlah kebahagiaan yang sepadan sebagai ganti karena anak dan cucunya tidak bisa pulang lebaran tahun ini.

Selamat lebaran, kawan-kawan.




Sawer blog ini

0 komentar :

Post a Comment

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger