Sudah beberapa hari terakhir ini, bapak mertua saya dirawat di rumah sakit. Ia menderita stroke. Saya tak tahu seberapa gawat stroke yang ia derita, yang jelas, di hari pertama ia masuk ke rumah sakit, ia benar-benar tak bisa apa-apa. Jangankan untuk bergerak, sekadar ngomong pun tak sanggup.
Puji Tuhan, dokter yang menangani bapak mertua saya, dan fasilitas rumah sakit tempat ia dirawat tampaknya sangat mendukung kesembuhan bapak mertua saya.
Beberapa hari sejak dirawat, ada banyak kemajuan yang didapatkan. Kacek. Dari yang blas nggak bisa apa-apa, sampai akhirnya bisa menggerakkan tangan dan kaki serta bisa bicara. Walau tentu saja masih dengan kata-kata yang sederhana.
Ibu mertua saya, sepupu bapak mertua saya, Kalis, saya, dan bapak saya bergantian menunggu. Tentu saja Kalis dan ibunya yang paling sering.
Kalis amat sabar merawat bapaknya. Ia membimbing bapaknya untuk perlahan membaca Al-Fatihah dan surat-surat pendek lainnya.
Perlahan, hari demi hari, bacaan Fatihah bapak mertua saya mulai lancar. Ia kemudian mulai rutin mencoba melafalkan surat-surat pendek lain. Saya yakin, semangatnya agar bisa segera kembali ngimami salat di kampungnya (Bapak mertua saya seorang modin dan imam musala) itu menjadi salah satu pendorong baginya agar bisa cepat pulih.
Kalis selalu telaten membetulkan bacaan-bacaan surat pendek bapak mertua saya, maklum saja, kemampuan membaca surat bapak mertua saya benar-benar turun drastis. Dalam momen itulah, Kalis menunjukkan semacam ketelatenan yang membuat saya merasa sangat beruntung.
Kadang , tugas membetulkan bacaan-bacaan surat pendek itu harus saya ambil alih saat Kalis harus bekerja, kadang nulis kadang jadi pemateri zoom.
Membimbing bapak mertua membaca surat-surat pendek menjadi tugas yang menyenangkan sekaligus mengerikan. Menyenangkan sebab hati ini terasa tenteram setiap kali ia bisa lancar membaca satu surat dengan lancar sampai selesai, itu artinya, kesehatannya semakin membaik. Dan menjadi mengerikan sebab semakin lama, bacaan mertua saya semakin lancar dan ia selalu ingin mencoba bacaan surat yang lebih panjang.
Kalau cuma kulhu, qulyaa, atau tabbat yadaa, saya masih mampu. Tapi kalau sudah Izaa waqa'atil waaqi'ah, ha yo remuk. Saya yang nggak hafal.
Beruntung, sebagai lelaki berjiwa taktis, saya selalu punya cadangan pertahanan ganda. Tiap kali bapak saya mau mencoba membaca surat panjang, saya langsung bilang “Surat-surat pendek saja dulu, Pak, biar lancar dulu. Yang penting bisa buat ngimami.”
Dan untung lagi, ibu mertua saya senantiasa mendukung menantu kesayangannya. “Iyo, Pak. Rasah ngoyo. Yang pendek-pendek saja cukup,” ujarnya kepada bapak mertua saya.
Ah, kalau begini, saya jadi agak menyesal kenapa dulu saya menolak keras saat mau dimasukkan ke madrasah oleh bapak saya.
“Yo, rapopo sekolah ng Madrasah, Pak, tapi Pak’e wae sing sekolah, ojo aku,” kata saya pada Bapak saya waktu itu.
Wes tenan ilmumu bab ngene iki kudu tak tiru buahahahhahahah
ReplyDeleteCerdik sekali emang nih Mas Agus, haha. Pandai bersiasat haha.
ReplyDeleteSudah banyak perubahan juga ternyata dari bapak mertuanya, semoga cepat diberi kesembuhan ya
“Yo, rapopo sekolah ng Madrasah, Pak, tapi Pak’e wae sing sekolah, ojo aku,” ngakak bagian ini wkwkwk
ReplyDeleteCepat Sembuh dan sehat selalu
ReplyDeleteBeli mesin UKM buat usaha mas Agus, siapa tahu jadi tambah sukses dan tambah disayang mertua.. hehehe.. peace
ReplyDelete