Beberapa hari yang lewat, Kalis sibuk mengisi semacam form aplikasi fellowship dari salah satu NGO. Ia memang sudah sejak lama mempersiapkan diri untuk mendaftar di program fellowship tersebut.
“Kalau fellowship ini tembus, aku punya kesempatan untuk belajar ke Brazil atau India,” katanya.
Melihat wajahnya yang begitu sumringah itu, tentu saja saya ikut bahagia. Ia bisa belajar sambil mewujudkan impiannya: mengunjungi India.
Gaya hidup menonton film-film India memang membuat Kalis menjadi tergila-gila dengan India. Kepada saya, ia kerap menceritakan tentang keindahan alam India yang ia lihat di scene-scene film India yang ia tonton itu.
“Seandainya kamu lolos, kamu bakal ke India berapa lama?”
“Ini sebenarnya program fellowship tahunan, sih, jadi kayak ada rentang waktunya gitu per programnya, Mas. Nggak panjang, paling dua atau tiga minggu.”
Mendapatkan jawaban tersebut, tentu saja muncul sedikit kekhawatiran kecil dalam diri saya. Maklum saja, sejak kami pacaran, kami memang terbiasa bersama. Jarak kos kami pun saat itu nggak sampai 1 kilometer, semata agar kami bisa lebih mudah buat bertemu.
Ditinggal Kalis ke luar negeri memanglah bukan hal yang mengerikan, namun tetap saja ia menghadirkan perasaan berat di dalam diri saya.
Saya pernah tiga kali merasakannya. Pertama saat Kalis ikut semacam pelatihan kesetaraan gender di Malaysia. Dua minggu saya ditinggal. Yang kedua saat dia ikut program kunjungan ke Jepang selama beberapa waktu dari Japan Foundation. Dan yang ketiga waktu Kalis ikut semacam program tinggal di Israel karena mendapatkan undangan dari salah satu lembaga di sana.
Yang paling berat tentu saja adalah menjalani hari-hari pertama saat ditinggal. Seseorang yang biasanya selalu bersama saya, tidur di samping saya, mendadak sudah berada di tempat yang jauh dari saya.
Betapa singupnya perasaan saat duduk sendiri di rumah, memandang sekeliling tanpa tujuan, sambil menghayati sepi yang menyergap.
Namun, kelak saya menyadari, bahwa perasaan sedih saat ditingggal itu seakan terbayar lunas saat Kalis pulang dan ia dengan sangat bahagia menceritakan apa saja yang sudah ia dapatkan.
Ia mendapat banyak kawan baru, pengetahuan-pengetahuan baru, dan juga pengalaman-pengalaman baru. Ia antusias bercerita kepada saya tentang bagaimana ia menyaksikan perbatasan Israel-Palestina dari udara, atau menceritakan kawan-kawan barunya yang ia temui selama di Jepang, atau menceritakan kekagumannya terhadap para pegiat kesetaraan gender dari berbagai penjuru negara saat berkumpul di Malaysia.
Rasa sedih itu seakan terobati begitu saja hanya dengan mendengar cerita-ceritanya. Apalagi kalau ia sudah mulai mengeluarkan satu per satu bungkusan dan kemudian memberikan oleh-oleh kepada saya. Obatnya dobel.
Saya tampaknya memang harus mulai membiasakan diri untuk ditinggal. Saya pikir, itulah cara yang harus saya tempuh untuk mendukung Kalis menjadi seseorang yang lebih bahagia, dengan pengetahuan-pengetahuan baru, dengan pengalaman-pengalaman baru, dengan kawan-kawan baru.
Tentu akan berat, namun memang itulah konsekuensi yang mengiringi keputusan saya saat menikahi Kalis: membantu apa saja untuk membuat dirinya berkembang, seperti yang ia lakukan kepada saya.
Lamat-lamat, sambil menuliskan tulisan ini, saya jadi teringat dengan cerita kawan karib saya, sebut saja Iqbal Aji Daryono. Kepada saya, ia pernah menceritakan perasaannya saat ditinggal oleh istrinya ke Norwegia untuk menempuh pendidikan S2-nya.
“Asal kowe ngerti, Gus, biyen pas aku ditinggal bojoku sekolah neng Norwegia, seminggu pertama ki aku isone mung nangis, nangis, karo nangis,” ujarnya.
Ah, hidup kadang memang harus siap dikoyak-koyak sepi. Benar apa kata Bhang Iwan: Engkau lelaki kelak sendiri.
0 komentar :
Post a Comment