Hari ini, AHY bersama bersama 34 Ketua DPD Partai Demokrat dan ratusan kader lainnya menggeruduk kantor Kemenkumham. Tak ada tujuan lain selain menyampaikan sikap terkait Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat yang dianggap ilegal. Dengan potongan seragam ketat kayak bantara baru dilantik itu, AHY dengan gagah memimpin kader-kadernya yang masih setia untuk berorasi.
Langkah tersebut menjadi langkah awal dalam babak perseteruan terang-terangan antara Partai Demokrat versi Kongres Biasa dan Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa.
Jujur, tiap kali ada polemik perpecahan di dalam partai politik, entah kenapa, saya itu rasanya selalu seneng. Mongkok. Girang. Ati rasanya gidro-gidro.
Bukannya saya tidak cinta damai, namun memang selama ini, saya berkali-kali menyaksikan banyak elemen masyarakat yang berkelahi hanya karena beda pilihan politik, yang mana kita tahu bahwa partai politik ikut bertanggung jawab atas hal itu. Nah, itulah kenapa, kalau ada partai kok kadernya gelut sendiri-sendiri, saya jadi merasa ada keadilan dalam perkelahian itu.
Biar gantian. Masak yang berkelahi masyarakat melulu, sekali-kali kader partainya dong yang berkelahi.
Saya yakin, ada banyak dari Anda yang juga merasakan perasaan yang serupa dengan saya. Hayo, ngaku saja.
Tahun lalu, waktu PAN bikin kongres di Kendari dan para kadernya saling lempar kursi di dalam arena kongres, saya begitu menikmati foto-foto para kader PAN yang dengan tampang pendekar heroik itu melemparkan kursi dan apa saja yang bisa mereka lempar kepada kawan sesama partainya.
Mereka saling kepruk selayaknya dua kubu preman yang saling menyimpan dendam.
Adegan saling lempar kursi di dalam arena kongres PAN itu benar-benar seperti adegan pembuka film Crows Zero. Bedanya, dua kubu yang bertikai dalam kongres tersebut (pendukung Zulkifli Hasan dan pendukung Mulfachri Harahap) saling melempar kursi tanpa berteriak ala teriakan anak-anak Suzuran itu.
Kalau saja mereka melempar kursi sambil berteriak ala anak Suzuran, pasti bakal lebih meriah dan sangar.
“Zulkiflieeeeeeehhhh!”
“Mulfachrieeeeeeehhhh!”
Ealah, kini, setahun berselang setelah adegan saling lempar kursi di dalam arena kongres PAN, kok ya giliran Partai Demokrat yang geger geden.
Sekali lagi, saya menikmati perseteruan tersebut. Saya antusias menyimak gelutnya bapak-bapak dan ibu-ibu kader itu.
Terpilihnya Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) memang membuat Partai Partai Demokrat praktis terpecah menjadi dua, yakni kubu AHY dan kubu Moeldoko.
Ini bukan perseteruan sepele. Saking dahsyatnya kisruh tersebut, pengurus DPP Partai Demokrat kubu AHY Andi Arief bahkan sampai menyebut bahwa SBY akan berdemonstrasi di Istana Kepresidenan jika Presiden Jokowi membiarkan dan mengesahkan putusan KLB yang dianggap ilegal tersebut.
Betapa girang saya menyaksikan para petinggi partai ini ribut sendiri-sendiri. Saking girangnya, seandainya saya punya daya dan kekuatan, niscaya saya tak akan sudi mendamaikan keduanya.
Seandainya saya berada di antara SBY dan Moeldoko, maka yang akan saya katakan pertama kali kepada SBY maupun Moeldoko bukanlah kalimat-kalimat bijak, melainkan kalimat yang sebisa mungkin justru membuat mereka lebih muntab dan bernafsu untuk saling menyerang.
Kepada SBY, mungkin saya akan mengatakan, “Pak, sampeyan ki luwih senior lho mbangane Moeldoko, mosok ra wani gelut, nek aku dadi sampeyan, kuwi Moeldoko wis tak kiwo. Kuwi nek aku, lho.”
Sedangkan kepada Moeldoko, saya bakal mengatakan, “Jal, nek wani SBY dimek irunge.”
Heuheuheu... Ra sopan! Saran-saranmu terlalu progresip repulusioner....
ReplyDeleteMantap mas postingannya
ReplyDelete