Selayaknya banyak orang, saya menyaksikan wajah Jakarta di masa kecil melalui tampilan di layar-layar televisi. Jakarta di mata saya merupakan kota yang dihuni oleh artis-artis top dan beken. Dari Rano Karno sampai Mathias Muchus, dari Anwar Fuady sampai Pong Harjatmo, dari Dina Lorenza sampai Paramita Rusady.
Saya hampir selalu berpikir, Jakarta pastilah kota yang menyenangkan, sebab kalau tidak, mana mungkin orang-orang seperti Dina Lorenza itu kelihatan cantik melulu. Dari jaman jadi model video klip lagu Angin Malam-nya Sahara, trus jadi saingannya Peggi di sinetron Gerhana, sampai jadi istrinya tulang Togu di sinetron Tukang Bubur Naik Haji, kok ya nggak ada jelek-jeleknya.
Perlahan, saya mulai naksir pada kota itu. Dan rasanya tak berlebihan jika kemudian Jakarta menjadi kota yang, saya merasa, kelak harus pernah merasakan hidup di sana, atau setidaknya, pernah mengunjunginya.
Harapan itu tak tercapai saat saya SMP, sebab ketika banyak SMP di kota saya menjadikan Jakarta sebagai tujuan darmawisata, SMP saya justru bervakansi ke Bali.
Saya akhirnya baru benar-benar bisa mengunjungi Jakarta saat sudah dewasa. Bayangkan, betapa dahsyatnya kota ini, bahkan untuk sekadar ke Jakarta pun saya harus menunggu aqil-baligh dan berjembut dulu.
Di kunjungan pertama saya ke Jakarta itulah, saya menyadari bahwa Jakarta tak semenyenangkan yang saya kira. Ia adalah kota yang kejam. Saya datang ke sana untuk mengambil hadiah lomba menulis blog yang diadakan oleh salah satu BUMN. Saya tak punya kenalan di sana, sehingga malam hari saat saya tiba di sana, saya memutuskan untuk tidur di musala tak jauh dari stasiun Gambir. Belum juga saya terlelap, seseorang langsung mengusir saya dan mengatakan bahwa musala mau ditutup.
Bayangkan, bahkan di rumah Allah pun, saya tak punya hak untuk merebahkan diri.
Saya terpaksa berpindah ke tempat lain. Saya kemudian berjalan amat jauh, saya susuri sepanjang jalan Sudirman dan jalan-jalan di kiri-kanannya, berharap ada warnet yang bisa saya tumpangi untuk tidur. Hal yang selalu saya lakukan saat di Magelang atau Jogja.
Namun ternyata, kota ini kelewat maju. Saya tak menemukan warnet. Mungkin semua kantor di Jakarta sudah punya akses internet sendiri, sehingga warnet sudah tak diperlukan lagi dan hanya layak dicatat dalam arsip kebudayaan saja.
Pada akhirnya, saya memutuskan tidur di bangku taman Monas. Saya tidur dengan sangat lelap. Bukan karena bangkunya empuk dan nyaman buat tidur, namun karena saya sudah kelewat letih berjalan jauh mencari warnet dan tak menemukannya.
Pagi harinya, saya harus bertemu dengan kekejaman kota ini dalam versi yang lain. Saya tak tahu di mana alamat hotel tempat saya mengambil hadiah. Saya pun bertanya kepada orang yang lewat. Dan keparat, salah seorang yang saya tanyai bahkan mengusir saya dan memberikan tanda dengan tangannya agar saya menjauh darinya bahkan sebelum saya sempat menanyakan pertanyaan saya.
Dugaan saya, ia mengira saya adalah sales yang sedang menawarkan barang dagangan atau, yang lebih parah, ia mengira saya pengemis yang berharap ia mau menyisihkan barang sedikit uang receh miliknya.
Kota ini tak sebaik yang saya kira. Dan tak semenyenangkan yang saya duga. Perkara Dina Lorenza selalu tampak cantik, saya pikir itu murni karena dirinya rajin merias dan mematut-matutkan diri di depan cermin, bukan karena sumbangsih kota ini.
Saya kemudian berjodoh lagi dengan Jakarta saat saya bekerja sebagai desainer grafis di Sukabumi. Agensi tempat saya bekerja sering mengerjakan desain annual report perusahaan-perusahaan dari Jakarta, sehingga mau tak mau, saya jadi harus sering bolak-balik Sukabumi-Jakarta.
Pengalaman tidak menyenangkan tentang kerasnya Jakarta itu masih tetap tersisa. Di bayangan otak saya, Jakarta semakin tampak serba bergegas. Jakarta tampak serba cepat dan mekanis. Sebagai seorang pemalas, saya tak yakin bisa mengimbangi ritme kerja Jakarta yang amat ketat itu.
Entah kenapa, saat itu, saya selalu merasa sangat tersiksa tiap kali harus ke Jakarta dan selalu bahagia tiap kali harus balik ke Sukabumi.
Jakarta menjadi selayaknya kawan menyebalkan yang saya selalu berusaha untuk menghindar darinya.
Kelak, dalam waktu yang lain, saya ternyata berkesempatan untuk kembali bersentuhan dengan Jakarta. Kali ini, saya mendapatkan tantangan kerja di Jakarta.
Saya dipanggil untuk datang ke studio Bukan Empat Mata dan diminta menjadi salah satu pengisi acara di sana. Awalnya sebagai narasumber. Saat itu, saya memang sedang cukup moncer karena terkenal sebagai tukang edit foto bareng artis.
Setelah penampilan saya di episode Bukan Empat Mata itu, dua minggu kemudian, saya diminta untuk datang lagi ke Jakarta. Kali ini, saya diminta untuk menjadi semacam asisten co-host yang bertugas untuk menyemarakkan acara.
Dua episode saya menjadi asisten co-host di sana, dan itu sudah cukup untuk membuat saya amat tak betah di Jakarta. Di studio syuting, kebergegasan Jakarta yang dulu saya saksikan di kantor-kantor menjadi tampak semakin jelas. Itu belum termasuk kemacetan Jakarta yang ngaudubillah setan itu.
Bayangkan, saya tidur di penginapan tak jauh studio Trans7, dan jarak yang tak jauh itu rupanya tak bisa ditempuh dengan sebentar. Kemacetan Jakarta benar-benar susah dinalar. Saya bahkan butuh puluhan menit hanya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang berjarak tak sampai tiga kilometer.
Sejak saat itulah, saya meyakini, Jakarta benar-benar bukan tempat yang cocok untuk saya. Jakarta hanya cocok untuk para pekerja keras dan saya bukanlah salah satunya. Apa saja yang menggelinding di sana berderap dengan sangat cepat dan taktis.
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” Begitu kata Seno Gumira dalam salah satu karyanya.
Narasi menyeramkan yang ditulis oleh Seno Gumira itu begitu terbayang dalam kepala saya, dan saya meyakini, itulah yang akan terjadi pada diri saya seandainya saya tetap memutuskan untuk terus bertahan dan bekerja di Jakarta.
Pada akhirnya, saya memutuskan untuk pulang ke Magelang, berusaha bekerja di sana, sebagai seorang penjaga warnet atau sebagai penulis, dengan honor yang tak terlalu besar, tentu saja, namun saya amat menikmatinya.
Di Magelang, memang tak ada Dina Lorenza, namun itu mungkin adalah harga sepadan yang harus dibayar agar tak ada kemacetan yang semenyebalkan jalanan Jakarta.
Tiap kali saya bertemu dengan kawan yang berhenti dari kerjanya di Jakarta karena merasa tak betah, saya selalu berusaha membesarkan hatinya. Saya lalu semangat untuk memprovokasinya bahwa pilihannya sudah benar.
“Kowe ki ancen ra cocok kerjo ng Jakarta. Aku yo podo. Wis, ngopi wae. Iki sing paling cocok ngge aku ro kowe. Loskeeee.”
Setiap orang, terutama dari luar Jakarta, punya drama masing-masing dengan desa besar ini. Sejauh saya tahu, belum pernah saya melihat data berapa banyak yang bekerja di Jakarta karena terdampar tapi tak beroleh rakit keberanian untuk menyelamatkan diri.
ReplyDeleteBenar-benar desa besar yang bikin ciut nyali.
DeleteKota besar yang bisa dibanggakan dengan cara terpaksa.
ReplyDeleteDan saya setuju, hidup di pedesaan jauh lebih tenang dan damai. Jauh dari hiruk pikuk urban dan perang di media sosial yang sering membuat stress...
Mantap mas..
Nah, kan, kandhani og. hehehe
DeleteMatur nuwun Oom Agus,
ReplyDeleteSemakin menguatkan niatku untuk pulang ke Magelang.
Nek madep ngulon nonton Sindoro Sumbing
Nek madep ngetan ndelok Merapi Merbabu
Nek wis suwi ninggalke Magelang, dua pemandangan itu sungguh kenikmatan yang haqiqi.....
saya sudah hidup di Jakarta dari balita, sampe saya punya balita lagi. Tapi sekarang udah pindah ke Desa, kok rasane plong banget ya. Jauh dari keramaian dan udaranya terasa sejuk tenan jeh..... Jauh dari hiruk pikuk corona
ReplyDelete