Sore hari yang menyenangkan. Saya sedang sibuk memberi makan dua kompi ikan lele yang saya pelihara di dalam dua ember besar di halaman rumah saat lelaki muda itu datang.
Ia tidak memperkenalkan dirinya. Atau mungkin ia memperkenalkan diri tapi saya lupa atau tak terlalu memperhatikannya. Yang jelas, dari gelagatnya, saya sudah langsung tahu bahwa di adalah seorang salesman.
Ia datang dengan rambut yang begitu klimis. Sepintas lalu, rambutnya itu benar-benar tak ada beda dengan rambutnya Marshello si vokalis band The Hydrant itu. Kemejanya begitu rapi. Sepatunya mengkilap dan hitamnya paten seperti sepatu ketua OSIS di hari senin sesaat sebelum upacara bendera. Saya yakin, sepatunya itu sudah punya chemistri yang sangat erat dengan semir Kiwi.
Ia kemudian mulai berbasa-basi.
“Mas ini asli sini, Mas?” tanya dia dengan sangat ramah.
“Nggak, saya di sini cuma ngontrak, Mas. Saya asli Magelang.”
Tepat saat saya menyebut Magelang, tampangnya langsung berubah. Tampangnya menjadi lebih bersahabat. Rambutnya yang klimis itu menjadi tampak lebih berkilau.
“Magelangnya mananya Tegalrejo, Mas?”
“Agak jauh, saya dekat Akmil.”
“Saya dulu pernah mondok di Tegalrejo, Mas.”
“Pondok API-nya Gus Yusuf?”
“Nah, iya. Gus Yusuf itu kiai saya.”
“Oh, saya kenal baik sama beliau, baru dua minggu lalu saya sowan ke sana.”
Kami kemudian sempat ngobrol sejenak tentang pondok API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo itu.
Sejurus kemudian, dengan manuver yang cukup halus, ia kemudian mulai memancing saya ke inti perkara. Saya tahu ia akan menawarkan sesuatu pada saya. Sedari awal, saya sudah memantapkan diri untuk menerimanya dengan baik, selayaknya seorang tuan rumah yang beriman dan berakhlak.
Namun, sedari awal pula saya sudah memantapkan diri untuk tidak akan membeli apa yang ia jual jika memang saya tidak benar-benar membutuhkannya, apalagi jika harganya mahal.
“Ini tak akan lama, saya akan mengakhirinya di saat yang tepat,” batin saya dalam hati.
Yang ia tawarkan kepada saya ternyata adalah sebuah kalung. Kalung ion. Atau apalah itu namanya. Intinya, ia menjabarkan bahwa kalung tersebut punya manfaat yang baik untuk tubuh saya.
Penjelasannya tentang manfaat kesehatan kalung yang ia jual membuat dirinya seketika berubah dari seorang vokalis band rockabily menjadi seorang mantri kesehatan dari sebuah puskesmas di daerah terpencil.
Sambil sesekali bercerita tentang produknya, ia sempat pula bercerita pada saya bahwa ia sedang dalam masa training. Ia mendapat tugas dari kantor tempatnya bekerja untuk menjual kalung tersebut.
Saat ia menceritakan kisahnya tersebut, mendadak saya melihat diri saya muncul pada diri kawan kita ini. Ingatan saya langsung terlempar ke masa sembilan tahun yang lewat, saat saya berada dalam posisi yang sangat bingung karena tak punya pekerjaan yang pada akhirnya menuntun saya untuk melamar di sebuah perusahaan kecil di mana saya mendapatkan tugas pertama untuk menjual jas tuxedo.
Bayangkan saja, saya, dengan wajah yang begitu dekil dan sangat tidak eksekutif, harus menjual jas tuxedo, pakaian yang identik sebagai pakaian orang-orang kantoran sukses. Bayangan kekhawatiran saya saat itu tentu saja bukan kalau jas yang saya jual tidak laku, namun khawatir kalau-kalau saya justru dituduh sebagai orang yang habis maling jemuran londri dan kemudian sedang berusaha untuk menjual barang curiannya.
Saya tak bertahan lama di perusahaan tersebut dan memutuskan keluar karena saya sadar, tidak akan mudah bagi saya untuk menjual jas tuxedo. Itu usaha yang sama konyolnya seperti orang botak yang menjual obat penumbuh rambut. Bagi saya, keberhasilan adalah perpaduan antara kerja keras dan realitas.
Ah, keparat. Sampai mana tadi?
Oh ya, demi mendengar ceritanya bahwa dia sedang dalam masa training itu, saya pun mencoba berbasa-basi. Saya menampakkan sedikit rasa ketertarikan saya pada kalung tersebut. Walau sedari awal, sekali lagi, saya sudah memantapkan diri untuk tidak akan membelinya. Hal itu semata saya lakukan demi meningkatkan kepercayaan diri kawan kita ini saat menawarkan barangnya di rumah berikutnya setelah saya. Semacam penyemangat bahwa barang yang ia jual punya nilai yang membuat orang tertarik walau mungkin belum tentu mau membelinya.
“Berapa, Mas?”
Ia tak langsung menyebutkan harga aslinya. Ia melipir jauh dengan menyebutkan harga yang cukup mahal dan kemudian menurunkannya jika saya membeli darinya saat itu juga.
Pada akhirnya, ia menyebutkan harga akhirnya: 299 ribu.
Memang jauh lebih murah ketimbang harga yang ia sebutkan di awal, namun tetap saja, bagi saya, itu harga yang cukup mahal untuk sebuah kalung yang saya bahkan belum terlalu tahu banyak kevalidan manfaatnya.
“Kalung ini bagus kalau dipakai dan menempel di dada. Bisa menetralisir racun, Mas. Bisa melancarkan aliran darah,” terangnya. “Bisa juga buat detoksifikasi air, Mas. Nanti kalau Mas mau minum, kalung ini dicuci dulu, nanti dicelupkan ke air yang mau diminum. Diamkan dua menit saja.”
Bagi saya, tidak ada sesuatu yang benar-benar membuat saya tertarik pada produk yang ia tawarkan setelah ia menjelaskannya dengan panjang lebar.
Tak mau menyerah, kawan kita ini kemudian mengeluarkan ponselnya lalu memutarkan dan menunjukkan pada saya video testimoni dan khasiat kalung tersebut.
Jujur, saya tidak bisa fokus pada video yang ia putarkan, saya justru fokus pada ponsel yang ia pakai untuk memutar video tersebut. Sungguh sebuah ponsel android butut yang saya yakin pasti sudah melalui banyak asam-garam onak-duri dan benturan. Ada banyak lecet dan goresan. Tempered glass-nya sudah retak di beberapa sisi.
“Oke, sebelum semakin lama, saya harus segera mengakhirinya,” batin saya setelah ia memutarkan video tersebut.
Namun tampaknya, kawan kita ini benar-benar seorang pekerja keras. Ia terus menembakkan kalimat-kalimat yang membuat saya mau tak mau harus bertahan lebih lama. Kata-katanya berluncuran seperti peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Ini tentu saja berbahaya. Saya adalah orang yang tidak tegaan. Semakin lama waktu yang ia habiskan untuk berusaha, maka semakin rapuh pertahanan saya dan semakin tak tega saya untuk menolaknya.
Maka, saya terpaksa mengambil langkah taktis untuk menolaknya dengan cara yang, entah bagaimana, mendadak terpikir dengan spontan.
“Mas, kalau mas kasih saya harga 200 ribu, saya ambil. Tapi kalau nggak, ya sudah. Lain kali saja.”
Saya sudah memperhitungkan hal tersebut. Saya sudah yakin ia tak akan melepas kalungnya di angka 200, sehingga saya pikir, ini penolakan yang cukup halus dan tak menyakitkan hati.
Benar saja. Dugaan saya tak meleset, Ia tak mau melepas kalungnya di angka 200.
“Maaf nggih, Mas. Ini sudah dari sananya. Saya bisa dimarahi kalau jual 200. Saya nanti harus nombok,” terangnya dengan wajah penuh kekecewaan. “299 ini aja sudah harga diskon, Mas.”
“Nggih, pun, Mas, kalau begitu. Mungkin lain kali,” kata saya.
“Ya sudah, Mas.”
Ia tampak layu. Ia kemudian mulai mengemasi barang dagangannya lengkap dengan aneka brosur dan tetek bengek lainnya yang sedari tadi ia gunakan untuk “berperang” melawan saya.
Saya sudah bersiap dan menguatkan diri untuk menerima wajah ketus dari orang yang sudah berpanjang lebar menjelaskan barang dagangannya namun ternyata yang diterangkan menawar dengan kejam dan pada akhirnya tidak membelinya.
Namun, kali ini, dugaan saya meleset jauh. Yang terjadi ternyata justru sebaliknya. Kawan kita ini justru berlalu dengan wajah yang tetap menggembirakan.
“Maaf sudah menganggu waktunya nggih, Mas” katanya dengan wajah yang tak kalah ramah dengan wajah yang ia tampakkan tadi di awal. Melihat wajahnya yang tetap pasang wajah ramah itu, ada semacam sesak dalam diri saya.
Sesaat sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan saya dan keluar dari halaman rumah saya, ia sempat berbalik pelan dan kemudian mengatakan sesuatu yang sebentar lagi bakal membalikkan keadaan.
“Mas, kalau suatu saat Mas mampir lagi ke Tegalrejo, tolong sampaikan salam saya buat Gus Yusuf, ya.”
Blaaaaar. Tepat setelah ia mengatakan kalimat itu, hati saya langsung mencelos. Saya membalas “Ya,” dengan perasaan yang campur aduk.
Ya Tuhan. Saya mungkin bisa menolak tawaran dari seseorang yang menjual barang yang saya tak membutuhkannya. Namun jelas saya tak bisa menolak tawaran dari seseorang yang senantiasa ingat, hormat, dan takzim pada guru dan kiainya.
Maka, baru beberapa langkah ia berjalan, saya segera memanggilnya.
“Mas!” kata saya. “Ya sudah, boleh deh, 299 ribu.”
Ia kembali pada saya dengan wajah yang semringah. Saya masuk ke rumah untuk mengambil uang lalu membayarkannya.
“Semoga rejekinya lancar ya, Mas,” kata dia. Sungguh sebuah doa yang saya yakin ia berikan dengan tulus. Doa yang kalau setelah ini rejeki saya menyerbu laksana air bah, maka saya yakin salah satunya karena doa tersebut.
“Aamiin, Mas. Suwun,” kata saya.
Ia pun kemudian berlalu. Saya memandangi kalung yang kini berada di tangan saya. Saya menatapnya dengan prengas-prenges. Kalung yang membuat saya membatin “Bajigur, kok iso-isone aku tuku barang koyo mene.” Ketika beberapa minggu lalu saya nekat membeli ketipung dangdut, saya merasa itu sudah sangat tidak masuk akal. Tapi ternyata, saya akhirnya membeli barang yang jauh lebih tidak masuk akal lagi.
Kalung itu menjadi bukti bahwa seseorang bisa kalah sekaligus menang dalam waktu bersamaan.
Hari itu, saya merasa tidak sedang membayar untuk sebuah kalung. Saya membayar untuk sebuah rasa hormat seorang murid terhadap gurunya, sekaligus rasa takzim seorang santri kepada kiainya.
Dengan harga yang kelewat “murah”.
0 komentar :
Post a Comment