Sebagai orang yang tinggal di kampung yang posisinya diapit oleh markas dan kompleks perumahan Akademi Militer, kehidupan saya dipengaruhi betul oleh nuansa tentara. Pengaruh militer yang saya dapatkan dalam hidup menyentuh banyak aspek.
Rutinitas pagi saya, misalnya, selalu dimulai dengan lebih dulu mendengarkan suara drumben dari Akademi Militer ketimbang azan subuh dari musala dekat rumah. Soal tidur, saya terbiasa tidur dengan seprai bergambar logo Akademi Militer. Di dapur, dingklik (bangku pendek) yang sering dipakai keluarga kami adalah kotak bekas wadah amunisi. Urusan wisata, sedari kecil saya sudah terbiasa diajak berkeliling ke Taman Panca Arga dan oleh Bapak saya sering diajari bagaimana cara memutar penembak pada tank tempur.
Namun, dari sekian aspek kemiliteran yang pernah menyentuh kehidupan saya tersebut, rasanya tak ada yang lebih besar pengaruhnya daripada aspek yang satu ini, yakni ketika saya disunat menggunakan cara militer.
Ya, saking besarnya pengaruh militer dalam hidup saya, sampai-sampai perangkat yang paling vital dalam hidup saya pun terbentuk atas kerja-kerja kemiliteran.
Saya disunat saat duduk di bangku kelas 5 SD dan, seperti penjelasan saya tadi, saya disunat menggunakan cara-cara militer alias disunat oleh dokter militer, di markas militer, bahkan dengan prosedur yang militer pula.
Sebagai seseorang yang begitu mendukung pencabutan Dwifungsi ABRI, saya merasa sulit untuk mengakui hal ini, tetapi kebenaran, seperih apa pun itu, memang harus dikatakan. Lha gimana? Jangankan urusan pemerintahan, wong urusan burung saja tentara bisa ikut campur sebegitu dalamnya di kehidupan saya.
Kejadiannya bermula saat saya sedang libur caturwulan. Ndilalah, pas libur itu Akademi Militer mengadakan acara sunat massal. Rupanya, beberapa teman sekolah saya ikut mendaftar. Saya lalu ditawari oleh salah seorang kawan, sebut saja dia Rojib, untuk ikut acara tersebut.
“Gus, kamu mau ikut sunat di Akmil nggak?” tanya Rojib kepada saya.
“Ah, nggak, ah. Males,” jawab saya.
Alasan saya sebenarnya bukan males, tapi takut. Hanya saja, sejak kecil saya memang sudah terbiasa untuk berdiplomasi mengamankan harga diri sehingga untuk urusan tipu-tipu saya sudah cukup lihai dan ahli.
“Mumpung ada kesempatan, lo. Yang lain juga pada ikut,” desak Rojib.
“Aduh, ikut nggak, ya? Tapi, aku males je, Jib.”
“Sudah, ikut saja. Lagian mau massal apa tidak, toh kamu nanti bakal tetap merasakan sunat. Kalau bareng-bareng, kan, enak, banyak temannya,” kata Rojib memaksa.
“Ya, sudah, nanti aku pikir-pikir lagi, deh,” pungkas saya.
Ketika itu jelas saja saya takut. Maklum, bagi anak kecil seusia itu, sunat adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Jari tangan kebeset pisau saja rasanya sakit minta ampun, ini kok malah mau sengaja dipotong kulitnya. Duh, nggak kebayang sakitnya.
Saya merenung beberapa saat. Lama-kelamaan pikiran soal ketakutan itu terkubur oleh bayangan saya akan perasaan malu. Bagaimana seandainya kawan-kawan saya yang lain yang ikut sunat ternyata mengejek saya sebagai anak penakut dan bermental tempe karena nggak berani sunat? Duh, duh, mau ditaruh di mana muka saya?
Bayangan akan takut disunat dan takut dipermalukan kawan-kawan itu berkelindan hebat di pikiran saya.
Pada akhirnya dengan segala pertimbangan yang ada saya memutuskan ikut mendaftar sebagai peserta di acara sunat massal tersebut. Semahal apa pun harga diri, ia harus dibayar, meski rasa sakit disunat yang harus menebusnya.
Tanpa meminta izin dahulu kepada Bapak, saya diantar Rojib mendaftar ke sekretariat sunat massal di Akademi Militer.
Sepulang dari sana, dengan masih diiringi bayangan rasa takut disunat, saya membayangkan pujian yang akan segera saya dapatkan dari Bapak karena telah mengambil keputusan heroik.
Begitu sampai rumah saya langsung mengabarkan kepada Bapak perihal pendaftaran sunat massal tersebut. Namun, boro-boro mendapatkan pujian, saya justru dimarahi habis-habisan. Bapak marah setengah mati karena saya mendaftar sunat massal tanpa konsultasi dulu dengan dirinya. Bapak merasa saya merendahkan dirinya, menganggap Bapak nggak mampu membayar biaya sunat pribadi sampai-sampai anaknya harus ikut sunat massal.
Padahal saya tidak bermaksud demikian. Namun, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, maka mau tak mau bubur tadi harus dibuat seenak mungkin. Beberapa hari kemudian perwakilan dari panitia sunat massal mendatangi rumah kami untuk mengonfirmasi pendaftaran peserta. Bapak pun dengan terpaksa setuju dan mengizinkan saya mengikuti sunat massal tersebut.
Hari demi hari berlalu begitu cepat, tak terasa waktu semakin mendekati hari-H pelaksanaan sunat massal. Saya semakin ketakutan. Terlebih lagi banyak orang yang iseng menakut-nakuti saya tentang betapa sakitnya disunat.
Ada yang cerita soal ngilunya disunat, cerita bagaimana detail saat pisau itu mengiris kulit anu kita, sampai cerita-cerita pedih pengalaman sunat.
Kisah-kisah tersebut membuat penantian saya terasa lebih panjang dan lebih menyebalkan.
Pada akhirnya, waktu memang wasit yang paling adil. Hari-H datang jua. Saya ingat, momen itu jatuh pada hari Sabtu.
Saya berangkat bersama beberapa kawan satu SD yang juga ikut sunat. Di markas Akademi Militer sudah menunggu puluhan peserta lain yang telah siap dipotong kulit pucuk burungnya.
Kami para peserta sunat massal dikumpulkan di halaman salah satu ruangan dengan sebuah tenda militer (yang bentuknya mirip tenda sirkus) sebagai peneduh.
Entah apa motivasinya kami dikumpulkan di bawah tenda militer yang mirip tenda sirkus tersebut. Mungkin agar kami teringat dengan badut dan terlupa pada bayangan rasa sakit. Mungkin.
Masing-masing dari kami ditemani dua orang kerabat. Ketika itu saya ditemani bapak dan paman saya. Kalau tak salah, jumlah peserta yang ikut disunat ada delapan puluh orang. Peserta yang satu SD dengan saya ada enam orang, sedangkan peserta lainnya berasal dari SD lain yang masih satu kecamatan. Segelintir kecil sisanya merupakan kerabat dari tentara yang berdinas di Akademi Militer.
Pada saat itu saya merasakan kecemasan dan ketakutan yang teramat sangat. Saya melihat hal tersebut juga terjadi kepada peserta yang lain, termasuk kawan-kawan satu SD saya. Padahal, sebelum ini, kami sudah memantapkan diri untuk membangun tinggi tembok ketegaran dan keberanian. Apa daya, begitu sampai di markas Akademi Militer, keberanian kami menguap begitu saja.
Kami berdelapan puluh saling memperkenalkan diri. Beberapa dari kami juga saling bercengkerama untuk menghibur diri dan mencairkan suasana sebelum waktu “penjagalan” tiba.
Tepat pukul 10 pagi acara penjagalan dimulai. Satu per satu dari kami diminta mengambil kertas undian yang menentukan urutan sunat.
Saya maju dengan langkah gontai dan mengambil kertas undian tersebut. Saya membukanya perlahan, di kertas tersebut tertulis angka 24. Ya, saya mendapatakan nomor urut 24. Lumayanlah, tak terlalu awal, pun tak terlalu akhir, batin saya.
Satu per satu peserta masuk ke ruang-ruang pemotongan. Enam bilik telah disiapkan untuk pelaksanaan eksekusi, jadi untuk setiap satu giliran masuk, akan ada enam peserta yang disunat.
Saya mendapatkan nomor urut 24, itu artinya saya akan masuk pada giliran keempat. Setiap satu gelombang masuk, kira-kira waktu yang dihabiskan sekitar lima belas sampai dua puluh menit. Itu berarti masih ada waktu sekitar empat puluh lima menit sebelum saya menghadap dokter dan menjalani proses “penjagalan”. Sisa waktu itu saya pergunakan untuk menenangkan diri sambil berdoa. Tak lupa saya dan peserta lain saling menyemangati.
“Tenang saja, kata bapakku nggak sakit kok, rasanya kaya digigit semut,” kata seorang peserta kepada saya, bermaksud mengurangi rasa takut.
Saya hanya bisa mengiyakan walaupun dalam hati saya sebenarnya menjawab begini: Nggak sakit, ndiaaasmu. Iya, memang kaya digigit semut, tapi semutnya segede knalpot motor Ninja!
Terlepas dari banyak orang mengatakan bahwa sakitnya tidak seberapa, saya tahu, yang namanya disunat pastilah sakit. Tapi, untuk menenangkan suasana saya pun terpaksa berkompromi dengan omong kosong mereka.
Diselimuti ketakutan dan rasa waswas yang sama rupanya melahirkan jiwa korsa khas militer yang kuat di antara kami para peserta. Kami seakan-akan menjadi satu keluarga yang dipersatukan oleh rasa sakit yang sama. Kami memang tak saling mengenal dengan baik, tapi ketakutan akan rasa sakit akibat disunat membuat kami lebur dalam kebersamaan.
Di tengah penantian, ada satu momen yang, sungguh, membuat saya begitu emosional dan semakin menebalkan rasa takut saya. Entah bagaimana ceritanya, mendadak ada satu peserta yang pingsan sebelum disunat. Ia kemudian digotong ke luar ruangan dengan melewati barisan tempat saya dan kawan-kawan lain menunggu giliran.
Asuuuuuuuuuu...
Penantian saya yang sebenarnya tinggal beberapa belas menit itu menjadi terasa begitu panjang setelah melihat adegan yang bajangkrek setan alas tadi.
Dengan perjuangan penantian yang penuh keringat dingin, saya akhirnya dipanggil maju ke ruang penjagalan. Mau tak mau saya memang harus masuk ke ruangan putih itu tanpa boleh ditemani orangtua dan tanpa sempat menuliskan surat wasiat.
Sesampainya di ruangan, saya disuruh tiduran di salah satu bilik yang kosong. Sambil sesekali mengintip, saya bisa melihat peserta lain yang biliknya tepat berhadapan dengan bilik yang saya tempati. Seraut ekspresi ketakutan tergambar jelas di wajah peserta itu.
“Sudah siap, Dik? Nggak sakit, kok. Kalau nanti mau nangis, jangan ditahan. Nangis saja nggak apa,” kata dokter yang sebentar lagi mengeksekusi properti saya.
“Nggih, Pak Dokter, saya siap,” jawab saya penuh kecemasan.
“Kelas berapa?” tanyanya penuh basa-basi
“Kelas 5, Pak,” jawab saya masih dengan kecemasan yang sama.
“Oh, dari SD mana?”
“Dari SD Banyurojo 1, Pak.”
“Di sini diantar sama siapa? Bapak?” tanyanya lagi, seperti intel.
“Diantar Bapak sama Paklik.”
Dokter itu berkali-kali mengajukan pertanyaan yang menurut saya nggak penting. Saya tahu, itu upaya pengalihan isu. Jadi saya menjawab sekenanya saja. Setelah melewati beberapa pertanyaan yang membosankan, akhirnya ia sampai juga pada pertanyaan tentang urusan sunat.
“Mau pakai bius suntik atau bius oles?” tanyanya dengan nada bicara yang rendah.
Saya berpikir sejenak dan kemudian mantap menjawab, “Pakai bius oles saja, Pak, kalau pakai bius suntik, kan, sakit.”
“Ya, sudah, saya mulai saja, ya?” tanyanya yang hanya saya jawab dengan anggukan.
Dengan bantuan dua asisten, si dokter mulai mengoleskan obat bius tersebut. “Sakit nggak?” tanya Dokter sambil mengetes apakah obat biusnya sudah bekerja dengan cara menyentil-nyentil properti saya.
“Nggak sakit, Pak, tapi masih terasa.”
Beberapa saat kemudian tiba-tiba saya merasa ada tusukan jarum tajam yang menghunjam. Saya melirik sekilas. Buset, ternyata saya disuntik! Saya pun mengajukan protes.
“Lo, Pak! Sakit, Pak. Katanya tadi saya cuma dibius oles, kok, masih disuntik juga? Percuma dong tadi saya jawab pertanyaan Pak Dokter?” tanya saya dengan nada protes sambil meringis.
“Kalau cuma dibius oles nanti sakitnya terasa sekali. Tapi, kalau disuntik juga, sakitnya nggak akan begitu terasa,” jawabnya dengan nada diplomatis.
Bedebah betul ini dokter. Kalau saja saya tak ingat bahwa masa depan saya ada di tangannya, mungkin sudah saya pisuhi pak dokter satu ini.
Sejurus kemudian saya melewati sepuluh menit yang tidak akan terlupakan bagi saya. Rasa sakit itu begitu terasa kendati saya sudah dibius oles dan suntik.
Efek yang ditimbulkan rasa sakit memang membuat segala sesuatu terasa lebih lama. Sepuluh menit menjadi seperti satu jam.
Saya tak peduli bagaimana proses penyunatan berlangsung, tak tahu dikemanakan pula kulit burung saya dan bagaimana proses penjahitannya. Sebab, sepanjang proses penyunatan saya terus-menerus memejamkan mata.
Begitu proses selesai, dengan (tentu saja) segenap rasa sakit yang masih tersisa, saya berjalan keluar dengan dipapah oleh salah seorang petugas.
Saya keluar dari ruang penjagalan dengan perasaan yang oleh Silampukau digambarkan dengan “utuh sebagai lelaki”.
Di ujung pintu keluar saya melihat kawan-kawan seperjuangan saya menatap getir. Ingin saya berkata kepada mereka, “Jangan takut, tidak sakit, kok,” untuk sekadar menenangkan mereka. Namun, hal itu tentu saja saya urungkan karena wajah ngilu saya sudah pasti bakal membuat perkataan itu tak lebih dari omong kosong belaka.
Sampai di rumah, saya mendapatkan ganjaran atas sakit yang sudah saya alami. Uang amplopan dari para tetangga yang jumlahnya lumayan banyak itu boleh saya gunakan. Tentu setelah dipotong pajak keluarga dan pengeluaran untuk menyuguh para tamu yang datang menjenguk.
Disunat dengan cara militer membuat saya punya pengharapan militeristik terhadap kehidupan saya. Setidaknya, saya pernah berkeinginan bisa masuk TNI atau minimal menjadi lelaki yang gagah berani seperti prajurit.
Nyatanya, pengharapan tersebut semu belaka. Saya tumbuh menjadi lelaki yang jauh dari kata gagah berani. Lelaki lemah dengan akun rekening yang jauh lebih lemah lagi. Lelaki kurus yang bahkan tidak cukup layak untuk ikut seleksi masuk Akademi Militer.
Lama-kelamaan, peruntungan tersebut bisa saya maklumi, sebab saya sadar, pada diri saya, yang militer cuma burung saya thok, sedangkan kaki, selangkangan, perut, tangan, kepala, dan yang lainnya tetaplah sipil.
Arep nyawer kok gagal terus, kenapa ya?
ReplyDeletemungkin rekening yang satunya bisa lancar wkwk
DeleteWah, nggak papa, mas. Niat njenengan buat nyawer sudah membikin saya bahagia.
DeleteKalo gak bisa di-undo kenapa gak direvisi dengan cara sipil?
ReplyDeleteMaklum, sipil itu secara naluriah memang tidak suka merevisi, mereka lebih suka manut mbuh piye hasile, Mas. Hahaha
DeleteHAHAHAHAHA....
ReplyDeleteburunge dadi tentara dong mas?
ReplyDelete