Kalau ada barang di rumah saya yang jumlahnya amat banyak, setidaknya jika dibandingkan dengan peruntukannya, maka tentu saja itu adalah sapu. Ya sapu lidi, ya sapu ijuk. Kalau dihitung-hitung, jumlahnya sekarang mungkin ada sekitar 11 buah. Dan jumlah itu kemungkinan akan terus bertambah.
Saya membeli sapu-sapu ini dari para pedagang sapu keliling yang kebetulan melintas di depan rumah saya. Tiap kali ada lelaki tua yang lewat sambil memanggul sapu-sapu dagangannya, dan kebetulan saya pas melihatnya, maka akan sangat susah bagi saya untuk tidak membeli dagangannya.
Mereka selalu mengingatkan saya pada bapak saya yang dulu berjualan cairan pembersih kaca berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain.
Ada kebahagiaan besar yang saya rasakan saat itu tiap kali bapak pulang dengan tas yang amat ringan, sebab itu artinya, cairan pembersih kacanya banyak yang laku. Dan sebaliknya, ada kesedihan yang merayap tatkala tas itu dibawa pulang dengan bobot yang tak jauh berkurang sebab cairan pembersih yang ia edarkan hanya laku satu atau dua atau malah tidak laku sama sekali.
Maka, kepada si penjual sapu keliling itu, saya membayangkan bahwa ada anaknya yang sedang menunggunya di rumah seperti saya dulu menunggu bapak saya. Ia menunggu dengan dua pertaruhan: bahagia atau sedih. Semuanya tergantung dari hasil jualan sapunya.
Dalam bayangan seperti itulah, akal sehat saya sebagai seseorang yang sudah punya sapu di rumah akan runtuh karena saya bakal tetap membeli sapu yang dijual si lelaki tua yang melintas di rumah saya itu.
Saya selalu berprasangka bahwa sapu yang ia jual belum banyak yang laku atau malah belum laku sama sekali, dengan cara itulah saya bisa sedikit memafkan dan menoleransi keruntuhan akal sehat saya.
Benar bahwa ini adalah perasaan iba. Perasaan yang konon sangat tipis batasnya dengan kesombongan, sebab saya merasa lebih mampu dan lebih makmur ketimbang di penjual sapu. Tapi bodo amat dengan itu. Yang saya tahu, saya akan membeli sapu dagangannya agar lelaki penjual sapu itu bahagia dan kebahagiannya itu akan membuat anaknya di rumah ikut berbahagia.
Tepat ketika saya memutuskan untuk membeli sapu lelaki tua itu, terbitlah perasaan hangat dan puas di dalam dada saya.
Tentu hal tersebut tak selalu terjadi saat saya membeli sapu milik pedagang sapu keliling, sebab ada kalanya, yang terbit justru perasaan menyesal, utamanya setelah tahu kalau ternyata si penjual mengantongi uang yang sangat banyak saat akan memberikan uang kembalian kepada saya.
“Jancuk, jebul sapune wis payu akeh, ngerti ngono aku ora perlu tuku,” batin saya.
kerenn https://northstranger.com/
ReplyDeleteGak ikhlas rupanya ����
ReplyDeleteJancuk, jebul sapune wis payu akeh, ngerti ngono aku ora perlu tuku
Memang perkara keikhlasan itu ksifatnya kontemporer belaka. 😂
Deletewah wah....
ReplyDelete