Semalam saya dan Kalis akhirnya ngreyen untuk pertama kalinya Gramedia Sudirman pasca renovasi besar-besaran di masa awal pandemi itu. Toko buku ini menjadi terasa lebih luas. Ada tambahan kompartemen sendiri khusus untuk buku-buku komik, buku-buku anak, dan buku-buku parenting.
“Kita cuma lihat-lihat ya, Lis. Kalau memang ada buku yang kamu suka, ya beli, tapi satu atau dua saja. Setelah itu, kita makan.” Begitu kata saya pada Kalis. Saya terpaksa harus melancarkan ultimatum tersebut sebab istri saya suka tidak terkontrol kalau urusan belanja buku.
Kami pun berpencar, merangsek ke rak mana saja yang kami suka. Kami muter-muter, melihat-lihat, wabil khusus mencari letak rak di mana kami bisa menemukan buku kami dipajang, hal yang memang menjadi semacam kenarsisan dan kepuasan tersendiri bagi kami berdua yang seorang penulis.
Setengah jam berlalu, dan apa yang saya khawatirkan —dan sebenarnya sudah saya duga— terjadi juga. Kalis muncul bukan dengan satu atau dua buku, tapi tujuh. Sudahlah tujuh, tebal-tebal pula.
Tentu saja saya geregetan. Dia seharusnya paham, bahwa niat awal kami adalah Gramedate, bukan kulakan.
“Mas, aku nggak bawa cash banyak dan ATM,” ujarnya. Modiar.
Nah kan, kekhawatiran yang satu memang sering memancing kehadiran kekhawatiran-kekhawatiran berikutnya. Mau tak mau, saya pulalah yang harus membayar. Biar nggak mangkel-mangkel amat, saya beli satu buku, biar nggak terkesan saya bayar hanya untuk buku-buku yang dibeli Kalis thok.
“Kalau sadar nggak bawa cash atau kartu, harusnya jangan belanja buku sebanyak ini. Katanya cuma lihat-lihat, kok malah mborong.” Ingin sekali saya katakan kalimat itu kepada Kalis, namun saya urungkan. Sebab saya jadi ingat kunjungan kami ke Gramedia yang sama, dua tahun lalu, sebelum pendemi.
Niat kami awalnya cuma buat lihat-lihat, tapi ternyata, di sana, saya malah beli kalkulator merek Casio yang harganya ratusan ribu, sudahlah mahal, dua pula jumlahnya.
“Ngapain beli kalkulator?” Tanya Kalis saat itu.
“Ya pengin aja.”
“Trus ngapain beli dua?”
“Aku bingung mau pilih kalkulator yg mana, jadi aku beli saja dua-duanya.”
Jawaban saya saat itu membuat Kalis pasang muka mrengut dan mangkel. Muka yang sama yang saya pasang saat tahu Kalis membeli tujuh buku tadi malam.
Ah, tampaknya inilah cara Tuhan menegur kami berdua agar kami sama-sama menjaga komitmen soal pengeluaran.
Maklum saja, komitmen kami berdua kuat di depan penghulu, tapi tidak saat di depan pintu masuk Gramedia.
dikasir boleh lemah depan penghulu mah ogah. mantap mas...
ReplyDeleteMantap, Mas Agus, bingung mau beli kalkulator yang mana, eh dua-duanya dibeli. 👍🏻👍🏻👍🏻
ReplyDeleteBeli barang dengan alasan "Ya pingin aja" ini indikator orang mapan dan duit turah-turah ya mas ehehehe
ReplyDeleteSini tu kere tapi wani royal je 😂😂
DeletePALAPABOLA situs betting terpercaya,dapat melakukan
ReplyDeletetop up melalui :
-Semua rekening bank
-OVO
-DANA
-PULSA
Dan juga masih ada bonus top up sebesar 5% - 10% setiap depo
yuk buruan daftar kan akun kamu di palapa bola
Info lebih lanjut bisa hubungin contact kami di bawah ini:
Whatsapp : 0822-9755-2843
Instagram : Officialpalapabola
Barang mewah itu kalkulator, dua pula, "secara" Agus sudah pakai ponsel dan komputer. Salah satu kriteria belanja mewah adalah membeli barang tak berguna.
ReplyDeleteSini tu masih melarat, tapi wani foya-foya 😂
DeleteMantap
ReplyDeletehello
ReplyDelete