Seminggu yang lalu, saya membeli satu set mug di Informa dengan harga yang lumayan. Bukan mug biasa, tentu saja, melainkan mug “orang kaya”. Ini mungkin terdengar aneh, namun saya yakin, Anda pasti paham dengan apa yang saya maksud sebagai mug orang kaya ini. Singkatnya, mug yang sangat estetika. Berkelas, adiluhung, skandinavian. Pokoknya mug yang kemungkinan besar hanya bisa ditemukan di dapur rumah orang-orang kaya.
Bagi saya, peralatan makan dan minum memang bisa dilihat sebagai penanda hierarki kekayaan dan kemakmuran. Piring, gelas, sendok, mug, dan sebangsanya itu punya kemampuan untuk mengangkut energi kemewahan. Maksud saya, semahal apa pun minuman, kalau ia dituang ke dalam gelas belimbing hadiah sabun colek itu, niscaya minuman itu akan hilang sensasi kemahalannya. Sebaliknya, sekadar limun atau wedang sereh pun, kalau ia dituang ke dalam gelas Martini, niscaya ia bisa mengubah tindak-tanduk peminumnya menjadi serupa diplomat tajir yang hobi dansa-dansi.
Bukan tanpa alasan saya membeli mug orang kaya itu. Pertama, bagi saya pribadi, minum menggunakan mug yang estetik cenderung mampu memunculkan kepercayaan diri saya yang selama ini lebih banyak timbul tenggelam. Ia menghadirkan semacam perasaan kemlinthi dan nggleleng yang sifatnya positif. Bekerja di depan komputer menjadi lebih bergairah. Ngobrol bersama kawan juga bisa menjadi lebih interaktif.
Kedua, bagaimana pun, saya ini sedang menuju taraf hidup yang lebih sejahtera. Memang belum bisa disebut kaya, namun tampaknya sedang menuju ke sana. Setidaknya, saya sudah merasakan tanda-tandanya: buku saya yang terbaru sedang difilmkan dan menunjukkan gelagat untuk mulai sering dicetak ulang. Selain itu, tawaran endorse di media sosial dan undangan mengisi kelas menulis juga makin deras. Itu belum termasuk project-project penulisan yang didapat istri saya yang juga makin ramai.
Maka, sudah saatnya bagi saya untuk mulai mengganti mug-mug lama saya, mug khas orang miskin itu, dari mug bingkisan syukuran kelahiran bayi (yang bergambar foto bayi dengan tambahan nama yang sulit dibaca seperti “Queensya Tasya Tamasya” di bawahnya) sampai mug bergambar logo Lembaga Pers Mahasiswa yang saya dapat sebagai kenang-kenangan saat mengisi acara mereka.
Mengganti mug menjadi hal yang wajib hukumnya, dan keputusan saya membeli mug di Informa itu saya anggap sebagai keputusan hidup yang tepat.
Malam hari, begitu sampai rumah, saya langsung antusias menyertai mug yang saya beli dari Informa itu.
“Besok kita mulai pakai mug orang kaya,” kata saya pada Kalis seraya mengeluarkan mug-mug itu dari kardusnya dan menggantungkannya di tengkrek atau rak piring di dapur.
Kalis tertawa, saya ikut tertawa, walau saya serius soal mug orang kaya itu.
Pagi harinya, semangat saya meluap-luap. Saya sudah tak sabar ingin memakai mug itu. Ingin segera menyeruput kopi susu dari mug yang estetik itu.
Saya berlari ke dapur dengan penuh gusto. Saya saut sesachet kopi susu dari atas kulkas untuk saya seduh. Bodo amat dengan kopi sachet itu, toh selama diseduh di dalam mug orang kaya, maka ia akan menjelma menjadi kopi Starbucks. Saya tengah bersiap menuju kekayaan gastronomi.
Namun betapa kecewa hati saya, mug yang semalam saya gantung di tengkrek itu raib. Tak tampak di atas gantungan dan hanya menyisakan mug-mug lama saya, mug-mug orang miskin itu.
Saya bertanya pada Kalis. Ia menggeleng. “Aku nggak mindahin mug-nya,” katanya.
Saya bingung setengah mati. Ke mana pula itu mug orang kaya? Siapa maling senewen yang selo mengambil mug-mug saya itu? Ah, lebih tepatnya, kenapa harus mug-mug saya? Kenapa bukan televisi atau laptop yang ada di ruang tengah? Kenapa harus mug-mug saya?
Kalis melihat wajah saya yang lesu. Mungkin ia tak menyangka bahwa hilangnya mug itu akan sangat berpengaruh pada mood saya sehingga membuat wajah saya mlotrok begitu rupa. Kalis kemudian membantu saya mencari mug-mug saya itu. Kami berdua bergerilnya memeriksa setiap sudut dapur.
Nihil. Mug-mug itu tidak ditemukan.
Dalam keputusasaan, Kalis tampak teringat sesuatu. “Oh, kamu coba periksa kardus mug-mu itu, Mas,” kata Kalis. “Jangan-jangan dimasukkan lagi ke dalam kardus sama Budhe.”
Budhe yang dimaksud oleh Kalis adalah Budhe Tuk, perempuan paruh baya yang kami gaji untuk bantu-bantu pekerjaan rumah.
Saya menuruti apa kata Kalis. Saya periksa kardus itu, dan benar saja, mug-mug itu ternyata ada di dalam. Budhe benar-benar memasukkan kembali mug yang sudah saya gantungkan di rak itu ke dalam kardus.
Dalam sekejap, perasaan saya langsung berkecamuk. Ada perasaan lega, namun juga sedih. Lega karena mug itu akhirnya saya temukan. Sedih karena ternyata, semesta seperti tidak rela saya memakai mug orang kaya.
Saya menatap mug-mug itu dengan tatapan nanar. Saya membatin getir, “Bahkan Budhe, orang yang saya gaji pun, meragukan bakat kaya saya.”
Saya lantas bergeser, melirik ke rak piring, tempat tergantungnya mug-mug lama saya, mug-mug orang miskin itu. Entah kenapa, mereka menjadi tampak seperti sahabat karib.
Hahahahasyuuuuu.
Saya malah masih setia menggunakan mug hadiah jalan santai saat perayaan 17 an tahun 2018, mug nya bagus, tebal dari keramik dan ada gambar pak walikotanya.
ReplyDeleteMug orang kaya itu tidak cocok untuk jenis manusia seperti saya yg overthinking. Kegores dikit aja bisa bikin insomnia. Jadilah saya setia kepada mug mug hadiah sabun colek yg sama sekali tidak estetik itu.
ReplyDeleteSahabat karib wkwk asem tenan
ReplyDeleteSelalu memmerikan kejutan diakhir tulisan.. goodjob