Ada satu masa ketika saya nyaris gagal ikut darmawisata ke Bali saat SMP. Alasannya tentu saja klasik dan sudah barang tentu Anda paham: duit. Saya menyampaikan ketidaksanggupan saya untuk ikut darmawisata itu kepada lelaki yang berfoto bersama bapak saya ini. Namanya Lartono, ia guru biologi saya di SMP 7, sekaligus wali kelas saya saat kelas tiga.
Ia guru yang celelekan sekaligus menghibur, hal yang membuat ia amat disayang oleh murid-muridnya, termasuk saya.
“Lha ngopo kowe ora melu? Kowe ora pengin nonton bule renang nganggo bikini, po?” Ujarnya seraya tertawa.
Tentu saja saya ikut tertawa, dan itu membuat saya makin bingung untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya sebenarnya sudah menyiapkan jawaban, namun entah kenapa, jawaban itu mendadak seperti tak ingin dikeluarkan dari mulut saya. Uang adalah hal yang sentimentil. Dan akan menjadi jauh lebih sentimentil jika ia harus disampaikan setelah guyonan tentang bikini yang lucu itu.
Namun, bagaimana pun, saya harus menyampaikannya. Maka, saya paksakan, walau terasa getir.
“Bapak saya nggak punya duit buat nomboki kekurangan biaya pikniknya, Pak.”
Lelaki di depan saya itu tidak memperlihatkan perubahan roman muka. Ia tetap ceria, seolah-olah ia sudah tahu jawaban apa yang akan saya berikan kepadanya.
“Ah, gampang kuwi. Bapakmu suk kon dolan ning omahku,” ujarnya.
Singkat kata, bapak saya benar-benar mampir ke rumahnya. Saya tak tahu apa yang mereka bicarakan, dan manuver apa yang dibuat oleh Pak Lar. Yang jelas, saya kemudian bisa ikut darmawisata. Ketika saya tanyakan pada bapak saya, ia hanya menjawab, “Aku ning omahe Pak Lar malah dijak nggosip babagan awakmu.”
Dugaan saya, Pak Lar-lah yang nomboki biaya piknik saya, atau setidaknya mengusahakan agar saya tidak perlu membayar sisa pelunasan biaya darmawisata.
Kebaikannya itu, selain tentu saja sikapnya yang akrab pada saya dan pesan-pesannya yang amat simpatik dan peduli, membuat dirinya menjadi salah satu guru yang amat berkesan bagi saya.
Pak Lar-lah yang pertama kali mengajari saya membuat telor asin, mengajari saya membuat tape, juga mengajari saya menyambung batang ketela jenderal dan ketela taun agar menghasilkan ketela yang besar namun rasanya tidak pahit.
Ketika saya mulai pindah ke Jogja, saya baru tahu kalau Pak Lar sudah menjadi kepala sekolah. Tadinya di SMP 6, lalu SMP 4. Saat ia menjadi kepala sekolah di SMP 4, saya sempat diundang untuk mengisi kelas menulis untuk para siswa di sana. Kepada Pak Lar, saya berikan buku “Madgeo: Ensiklopedia Nabati-Hewani Seadanya dan Semampunya” yang saya tulis. Semacam persembahan untuknya bahwa walaupun saya tidak pernah menjadi murid yang pandai dalam pelajaran biologi, namun setidaknya, saya pernah menulis sesuatu yang berhubungan dengan biologi.
“Sekadar oleh-oleh, biar Pak Lar tidak terlalu menyesal pernah mengajar biologi pada saya,” kata saya saat itu. Ia tertawa.
Siang tadi, Pak Lar mampir ke warung Es Degan bapak saya. Ia berfoto dengan bapak saya lalu mengirimkan fotonya kepada saya via pesan Whatsapp.
“Kapan pulang ke Magelang, kita ngopi bareng, sisan tak mbaleni pelajaran biologi sing biyen. Bulan depan aku sudah pangsiun.”
Saya juga punya cerita soal kejadian yang sama, waktu itu kelas dua SMA. Jadi teringat wali kelas saya yang baiiik hati banget. Beliau sering bantuin anak-anaknya yang kurang mampu secara finansial, bahkan pernah nombokin kekurangan SPP beberapa bulan salah satu temen sekelas. Baca ini jadi kangen beliau, mungkin sudah saatnya 'say hi' lagi :)
ReplyDeletega ikut darmawisata gara gara ga punya uang jajan dan ongkos, ternyata sama
ReplyDeletemeh nangis aku
ReplyDelete