Saya cukup beruntung karena ikut menonton film “Srimulat: Hil yang Mustahal” dalam pemutaran gala premier di XXI Epicentrum Kuningan pada 12 Mei 2022 lalu alias seminggu sebelum film ini resmi dirilis ke bioskop pada 19 Mei 2022 mendatang. Ini film yang saya tidak ragu dan tidak punya beban untuk merekomendasikannya kepada orang-orang.
Film ini bercerita tentang kisah perjalanan kelompok lawak Srimulat dalam meniti karier dunia hiburan, tentang bagaimana grup lawak ini, yang sudah cukup punya nama di daerah melalui pementasan panggung, berusaha untuk melebarkan sayapnya ke ibukota sebagai grup lawak nasional melalui pementasan televisi.
Ada sederet masalah yang harus mereka hadapi, dari masalah laten pelawak: gagal tampil lucu, proses pencarian ciri khas persona masing-masing personel, sampai masalah kecakapan bahasa Indonesia mereka yang kurang fasih dan lancar.
Impresi saya pada film ini jelas: Ini film komedi yang bagus dan layak untuk ditonton. Film ini sangat menghibur, dan unik. Saya katakan unik, sebab formula humor yang dipakai dalam film ini benar-benar humor lawas yang, saya pikir, sudah nyaris punah bertahun-tahun yang lalu. Tipikal komedi farce yang dramatik dan karikatural.
Sebagai ilustrasi, dalam film ini, ada adegan di mana Rano Karno meminum teh dan ia salah menempelkan cangkir tehnya, bukan pada mulutnya, melainkan pada matanya. Ini jenis adegan komedi yang tentu saja satu liting dengan adegan orang mengambil bola yang setelah diangkat ternyata kepala orang, atau adegan saat seseorang salah paham menggunakan es contong sebagai teropong untuk melihat sesuatu. Adegan-adegan yang mengiringi kehidupan komedi kita di masa lalu.
Dan keparat, adegan Rano Karno yang salah menempelkan cangkir tehnya itu, yang harusnya jayus dan oldies itu, ternyata berhasil membuat saya dan nyaris seluruh penonton di dalam bioskop tertawa terbahak-bahak. Ini menyebalkan, kami dibuat tertawa oleh adegan yang seharusnya bikin kami mengelus dada.
“Asuuuuu, mung koyo ngene wae kok aku iso ngguyu.”
Bahkan sekadar melihat adegan Tarzan yang diperankan oleh Ibnu Jamil bertemu dengan perwakilan pejabat pemerintah yang diperankan oleh Tarzan yang asli (Toto Muryadi) pun, saya lagi-lagi tertawa.
Film “Srimulat: Hil yang Mustahal” benar-benar membuat selera humor penonton merosot berjamaah, sebab film ini membuat penonton tertawa terus-menerus melalui adegan-adegan komedi yang receh. Komedi yang sama sekali tidak butuh mikir. Saya jadi agak meragukan intelektualitas humor saya.
Walau secara format film ini adalah film biopik, namun kisah dalam film ini dibumbui gaya lawakan yang tentu saja ala Srimulat. Singkatnya, film ini menceritakan kisah nyata personel Srimulat, namun dibalut dengan komedi panggung Srimulat. Jadi, ini bukan film yang 100 persen biopik. Ini semacam peleburan antara dunia nyata dan dunia panggung. Dan peleburan itu berhasil.
Tentu saja ada ekspektasi yang luput. Ketika akan menonton film ini, saya sebenarnya berharap ada adegan yang, walau hanya sekilas, menceritakan bagaimana transformasi para personel dari sebelum masuk Srimulat menuju momen saat sudah di Srimulat. Ya misal kisah sekelebat bagaimana seorang Kabul, yang tampil kemayu itu, dengan nama panggung Tessy itu, dulunya adalah seorang marinir KKO. Namun sayang, ekspektasi itu tidak saya dapatkan. Padahal menurut saya, itu penting sebagai sebuah kisah biopik.
Kendati demikian, toh saya tetap puas dengan film ini. Selain karena faktor komedinya yang memang berhasil, juga kecemerlangan tim casting dan make-up yang berhasil menyeleksi dan memermak aktor-aktris dengan total sehingga mereka pas memerankan tokoh-tokoh pemain Srimulat dan juga tokoh-tokoh di luar Srimulat.
Pemilihan para aktor dan aktris yang terlibat, wabil khusus Ibnu Jamil sebagai Tarzan, Zulfa Maharani sebagai Nunung, Elang El Gibran sebagai Basuki, dan Bio One sebagai Gepeng, menurut saya adalah manuver yang jitu.
Dan ya, saya sempat dibikin kaget dengan sosok Pak Djijat yang berperan dengan amat sempurna sebagai Presiden Soeharto dan Endah Laras sebagai Bu Tien. Saat adegan yang melibatkan mereka berdua muncul, ada perasaan mak tratap, saya sampai mengira Pak Harto dan Bu Tien hidup lagi.
Lebih lanjut, ada banyak fragmen-fragmen kecil penyokong komedi yang sangat berhasil dalam film ini. Fragmen-fragmen itu pula yang saya pikir ikut berperan membuat adegan seorang Rano Karno salah menempelkan cangkir menjadi amat lucu.
Yang paling penting, kalau memang harus ada pesan moral seperti selayaknya produk kebudayaan masyarakat ketimuran, film ini memberikan pelajaran penting tentang kolektivitas dalam berorganisasi, apalagi sebuah organisasi lawak. Dalam hal ini, saya mengingat jelas apa yang dikatakan oleh tokoh tukang jahit yang diperankan oleh Arief Didu: “Menjadi pelawak itu nggak harus lucu, tapi harus bisa bikin teman-temannya lucu.” Betapa dunia lawak adalah hal yang bukan hanya butuh ekosistem, namun juga support system.
Dan saya pikir, film ini sangat berhasil mengejawantahkan hal itu, sebab menurut saya, adegan paling lucu dan berhasil memancing tawa yang panjang dalam film ini justru adegan selengekan Ki Sapari yang diperankan oleh Whani Darmawan, sosok yang saya tidak menyangka dan tidak terlalu berharap ia bakal selucu itu.
Sekali lagi, ini film yang bagus dan menyenangkan. Kalau ada waktu, tontonlah.
0 komentar :
Post a Comment