Di terminal Jombor, seorang simbah berusia senja menaiki bus jurusan Jogja-Magelang. Ia naik dari pintu belakang. Ia membawa satu keranjang dan satu buntalan besar dari kain. Keranjang ia taruh di bawah bangku dekat pintu belakang, sedangkan buntalan kain itu ia bawa bersamanya, dipangku di atas pahanya.
Saya yang sudah lebih dulu naik duduk persis di bangku di depan simbah pembawa keranjang itu.
“Mandap pundi, Mbah?” tanya saya berbasa-basi.
“Tempel, Mas.” Jawabnya dengan senyum khas seorang nenek. “Mas’e mandap pundi?”
“Kula Artos, Mbah.”
Sejurus kemudian, penumpang lain menyusul. Kali ini seorang ibu berkacamata —dengan mata kanan yang terus terpejam— yang juga membawa keranjang dan ia taruh di bawah bangku tempat ia duduk.
Si ibu duduk bersebarangan namun sejajar dengan tempat duduk simbah.
Dari obrolan mereka berdua, belakangan saya tahu kalau mereka sama-sama bekerja sebagai penjual makanan, semacam jajanan pasar atau sejenisnya. Saya kurang tahu apa namanya. Simbah berdagang di pasar gede, sementara Si Ibu berjualan di Jalan Solo.
“Bengsine jarene wis mundak saiki.” Kata Simbah.
“Iyo, Mbah. Njuk niki ongkos bis’e bakale mundak nopo dereng nggih, Mbah?” Timpal Si Ibu.
“Mugo-mugo wae hurung.”
“Jaman sakniki, Mbah, sembarange mundak. Padahal bakulane soyo angel.”
“Hoo, nek bengsine mundak tapi dagangane laris ngono rapopo. Iki bengsine mundak, dagangane yo seret.”
Saya menguping obrolan mereka berdua. Obrolan yang makin lama makin getir. Hidup memang tak pernah mudah, dan kita, mau tak mau, harus selalu siap menghadapinya.
Perlahan, muncul perasaan sesal yang aneh dalam diri saya. Ada amarah yang rasanya ingin sekali saya tumpahkan, namun saya tak tahu kepada siapa.
0 komentar :
Post a Comment