Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Pertautan Rasa dan Selera

| Tuesday, 1 November 2022 |

Kemarin di Surabaya, saat berkumpul bersama kawan-kawan Patjar Merah yang memang sedang punya hajat, Kalis mencoba pecel semanggi yang dibawa oleh seorang kawan. Itu pertama kalinya Kalis makan pecel semanggi.

Kalis menciduk sambel pecel itu dengan potongan kerupuk lalu memasukannya ke mulutnya, dan mengunyahnya dengan penuh khidmat.

Ia diam sejenak. Dari roman mukanya, tampak belaka bahwa ia sedang memproses rasa sambel pecel semanggi. Lidahnya sedang mengkalkulasikan pecel itu, apakah layak disebut enak, biasa saja, atau tidak enak.

“Pecelnya enak,” kata Kalis.

Saya yang mendengar itu langsung mendekatkan tangan saya, mencoba meraih potongan kerupuk dan mencicipi pecel tersebut.

Namun, belum juga saya sempat memotong kerupuk itu, Kalis langsung menghalau saya.

“Mas pasti nggak suka, ini sambel pecelnya kayak ada rasa petisnya,” terang Kalis. “Mas pasti nggak cocok.”

Terharu juga saya mendengarkan penjelasan itu. Betapa sebagai istri, Kalis tahu betul selera makan saya. Hati saya langsung congkak. Apalagi saat itu, ada beberapa kawan yang ikut makan bersama kami. Saya seakan-akan ingin berteriak, “Kalian lihat itu? Betapa istriku sangat mengerti aku.”

Tentu saja itu sejenis kecongkakan yang menggembirakan. Saya menikmati kesombongan yang lahir dari kepekaan Kalis atas selera makan saya itu.

Sebagai pasangan suami-istri yang kerap beradu mulut (baik dalam arti yang sebenarnya maupun tidak), tentu lidah kami sangat sering bertaut. Namun saya tak menyangka, bahwa pertautan itu ternyata menjadi medium bagi lidah Kalis untuk menyerap saripati selera lidah saya sehingga ia sampai bisa tahu, rasa yang bagaimana saja yang bisa cocok di lidah saya dan mana yang tidak.

Malam harinya, saya, Kalis, dan kawan kami Windy Ariestanty, makan malam di salah satu warung penyetan di bilangan Wonokromo.

Di depan meja kasir, Kalis dan Windy sibuk memilih menu, sedangkan saya berdiri di belakang mereka berdua.

Kalis bertanya pada saya, “Mas mau makan apa?”

Entah kenapa, saya ingin sekali menikmati lagi kecongkakan yang saya rasakan tadi siang. Maka, tanpa banyak basa-basi, saya menjawab pertanyaan Kalis itu dengan jawaban singkat.

“Terserah kamu saja, Lis. Kamu tahu seleraku.”

Tepat setelah selesai mengatakan itu, saya langsung berjalan menuju ke tempat duduk. Tentu saja dengan dada yang membusung.




Sawer blog ini

0 komentar :

Post a Comment

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger