Saya menyukai Edinson Cavani. Di mata saya, Cavani adalah pemain yang sangat layak diidolakan. Kerja kerasnya, determinasinya, gairah bermainnya, penempatan posisinya, ketidakegoisannya, gesturnya tiap kali rekannya mencetak gol, pembelaannya pada rekan setim yang dikasari pemain lawan. Sempurna.
Cavani, secara naluriah, membuat saya mendukung Uruguay untuk menjadi juara Piala Dunia 2022. Apalagi di timnas Uruguay, juga ada Facundo Pellistri, pemain yang juga saya suka, pemain muda Manchester United yang belum pernah bermain satu kali pun untuk Manchester United, namun sudah berkali-kali membela Timnas Uruguay.
Dan kita semua tahu, Uruguay tumbang di babak penyisihan grup. Maka, demi tetap relevan, setidaknya sampai sebelum final, saya harus memilih jago yang lain.
Saya memutuskan untuk mendukung Kroasia dan Maroko di semifinal. Gejala “The underdog effect” memang membuat saya, dan banyak orang lainnya, punya kecenderungan untuk mendukung tim yang lebih tidak diunggulkan. Tentu akan sangat menggembirakan jika ada juara baru. Itu akan melengkapi kegembiraan kita sebelumnya karena menyaksikan negara-negara Asia dan Afrika mempecundangi negara-negara Eropa dan Amerika latin.
Pada prosesnya, Maroko dan Kroasia sama-sama tumbang dan menyisakan dua tim yang sama-sama punya sejarah juara: Prancis dan Argentina.
Lagi-lagi, saya harus memilih. Mana yang akan lebih saya dukung? Dan pilihan saya jatuh pada Argentina. Alasannya sederhana. Empat tahun lalu, Prancis sudah juara. Gantian. Sekarang biar giliran Argentina. Penantian yang lebih lama tentu akan lebih berhak.
Kali ini, dukungan saya tidak mental. Argentina benar-benar juara. Walau ia bukan opsi pertama bagi saya, namun mongkok juga saya melihat Messi mengangkat piala emas itu untuk pertama kalinya.
Messi, dengan segala kemampuan dan kerja kerasnya selama ini, memang sangat berhak mendapatkan perpisahan yang paling paripurna dengan menjadi juara dunia. Tentu saja Ronaldo juga berhak, tapi tak apa jika ia tak mendapatkannya, setidaknya di Piala Dunia inilah, ia bisa mencetak rekor sebagai satu-satunya pemain yang bisa mencetak gol di 5 Piala Dunia. Hal yang tidak bisa Messi lakukan. Dan itu membuat Ronaldo tidak kalah-kalah amat.
Saya bahagia menyaksikan Messi berdiri mengangkat trofi di atas panggung, walau di sisi yang lain, saya tak tega juga menyaksikan Kylian Mbappe berjalan gontai dengan tatapan yang layu, bahkan walau ia keluar sebagai top skor di turnamen ini.
Untunglah, besok pagi, atau mungkin lusa, atau setidaknya minggu depan, ingatan kita tentang itu akan meranggas. Kita mungkin tak akan peduli lagi dengan persaingan Mbappe dan Messi. Kita kembali larut dalam kesibukan-kesibukan kita yang lain.
Begitulah sepakbola, begitulah Piala Dunia.
Kebahagiaan, adrenalin, gairah mendukung, percekcokan, perdebatan, analisis, dan segala rupa atribut lainnya itu kelak memang akan menguap begitu saja.
Kita lalu akan sabar menunggu piala dunia lagi, memilih dan mendukung tim idola lagi, bersorak-sorai lagi, bergembira lagi, berjudi lagi, memacu adrenalin lagi. Lalu melupakannya lagi. Begitu seterusnya.
Sekali lagi, begitulah semesta sepakbola. Dunia aneh yang bisa membuat kita menaruh iba kepada Mbappe, tanpa kita peduli, bahwa gaji Mbappe sebulan masih jauh lebih besar dari gaji kita seumur hidup.
Hanya di semesta sepakbola-lah, kita bisa kasihan kepada Mbappe, tanpa kita peduli, ketika kita sibuk mencampur air ke dalam botol shampoo yang mulai habis lalu mengocoknya agar masih bisa dipakai, Mbappe bisa dengan mudah membuat kolam renang yang isinya shampo semua.
Selamat, Messi. Selamat, Argentina.
isooo ae mas aguus ki haha
ReplyDelete