Dari sekian banyak pekerjaan yang pernah saya lakoni, ada tiga pekerjaan menarik yang mungkin tak banyak kawan-kawan saya yang tahu karena memang saya jarang menuliskannya.
Kawan-kawan saya di media sosial mungkin tahu pekerjaan saya di masa lalu sebagai penjaga warnet, penjual tuxedo, pengelem benang teh celup, pembuat stiker, sampai tukang edit foto. Namun untuk tiga pekerjaan berikut ini, tampaknya hanya segelintir orang yang mengetahuinya.
Pekerjaan pertama adalah tukang tulis ijazah. Pekerjaan ini saya lakoni dulu saat masih SMA. Saya mendapatkan pekerjaan ini melalui Pak Masykur (alm), tetangga saya di kampung.
Beliau, seingat saya, adalah seorang pensiunan yang di masa tuanya masih sering ikut mengurus TK Tunas Rimba yang kalau tidak salah dikelola oleh Yayasan Taruna Rimba Perhutani.
Pak Masykur, yang kebetulan satu mushola dengan saya, mendapat kabar kalau tulisan tangan saya cukup bagus. Saya kemudian diajak untuk mengerjakan penulisan ijazah TK Tunas Rimba. Saya diajari menulis indah dengan berbagai genre font, dari tulisan ala-ala Old English sampai ala-ala Monotype Corsiva yang dimodifikasi.
Dari titik itu, saya kemudian mulai dikenal sebagai tukang tulis ijazah atau juru menulis indah.
Pekerjaan ini sempat saya tekuni selama dua tahun sebelum akhirnya saya berhenti karena menganggap pekerjaan yang sederhana ini ternyata menghasilkan beban yang cukup besar. Saya pernah salah menulis nama seseorang. Seorang anak bernama akhiran “Zegananda” saya tulis “Zeganda”.
Kesalahan “kecil” itu nyatanya menghasilkan beban yang tidak kecil. Ada dua huruf yang hilang di sana. Insiden itu yang membuat saya jadi agak jiper dan memilih untuk tidak lagi menekuni pekerjaan berbasis kertangkes itu.
Pekerjaan kedua adalah ghostwriter khusus caption media sosial. Ini pekerjaan yang aneh, dan kadang masih sering saya lakoni sampai sekarang, walau tentu saja tidak sesering dulu.
Perkenalan saya dengan pekerjaan yang satu ini terjadi awal tahun 2016 silam saat saya iseng menulis sebuah tulisan untuk Puan Maharani (saat itu masih menteri). Saat itu, saya membuat tulisan dengan gaya surat terbuka untuk merespons pernyataan dia yang meminta masyarakat agar rajin diet.
Tulisan berjudul “Wahai Mbak Puan yang sudah langsing tanpa harus diet” itu ternyata viral dan bahkan dimuat ulang di berbagai media termasuk direpost oleh banyak akun propaganda di media sosial.
Gara-gara tulisan itu, saya kemudian dihubungi oleh seorang anggota DPD RI dan ditawari untuk menjadi ghostwriter untuk caption/status akun media sosial dia.
Saya menolak pekerjaan tersebut, sebab saya masih bekerja Mojok, dan pekerjaan sebagai ghostwriter itu mengharuskan saya pindah ke Jakarta.
Sebagai kompensasi, saya bersedia membuatkan si anggota DPD itu satu caption panjang untuk dia.
Momentum itulah yang membuat saya sadar, bahwa ternyata kebutuhan akan caption yang bagus sangatlah tinggi. Saya paham bahwa tidak semua orang bisa membuat caption media sosial yang bagus, namun saya tak menyangka bahwa ada banyak orang yang mau bayar mahal “hanya” untuk sebuah caption yang bagus.
Kesadaran itu makin menguat saat mengetahui kalau tulisan-tulisan saya tentang Kalis (ucapan selamat ulang tahun, apresiasi, dll), ternyata banyak dicopas orang dengan mengganti nama Kalis di tulisan itu dengan nama pasangan mereka. Hal yang bahkan sampai sekarang masih terus terjadi.
Saat itu, saya iseng membuat postingan menawarkan jasa menulis caption ini. Sekadar cek ombak. Tak dinyana, ternyata banyak peminat. Jadilah saya mulai sering mengerjakan tulisan untuk caption media sosial orang lain.
Nah, pekerjaan yang ketiga inilah yang menurut saya paling menarik sekaligus aneh, bahkan saya sendiri tak pernah menyangka: Menjadi talent di Empat Mata.
Kalau pekerjaan yang satu ini, tentu saja jalurnya adalah melalui profesi saya yang sebelumnya, tukang edit foto bareng artis.
Saya tak ingat kapan persisnya, yang jelas, saya mula-mula dihubungi untuk tampil sebagai bintang tamu di Empat Mata. Saya diundang sebagai ahli edit foto dan diminta untuk memberikan tanggapan terkait dugaan rekayasa foto syur yang melibatkan Ketua KPK saat itu Abraham Samad
Singkat cerita, setelah tampil sebagai bintang tamu, saya kemudian dihubungi kembali oleh orang Trans 7, saya diminta untuk tampil lagi di Empat Mata (saat itu namanya belum ganti jadi Bukan Empat Mata), tapi kali ini bukan sebagai bintang tamu, melainkan sebagai talent.
Btw, saat itu, saya belum kerja di Mojok, saya masih belum punya pekerjaan tetap. Mangkanya tawaran itu langsung saya terima.
Menjadi talent di Empat Mata adalah pekerjaan yang cukup berkesan. Pepi dan Vega Darwanti menjadi sosok yang sangat membantu dalam mengatasi demam panggung saya.
“Santai aja, Mas. Dulu saya juga begitu pas awal-awal tampil di sini” kata Pepi.
Kadang, saat jeda iklan, mereka berdua-lah yang justru minta maaf kepada saya terkait guyonan Mas Tukul (Vega, Pepi, saya, dan beberapa talent yang lain, termasuk kru Trans TV yang on cam memang sering dicengin atau digojloki oleh Tukul).
“Maaf ya, Mas, kalau tadi ada guyonan Mas Tukul yang menyinggung,” kata Vega.
“Santai aja, Mbak.”
Saya tidak banyak berinteraksi dengan Mas Tukul di luar panggung, sebab setelah panggung selesai, ia biasanya langsung masuk ke ruangan khusus.
Pekerjaan sebagai talent ini membuat saya jadi paham, betapa sibuk dan bergegasnya dunia showbiz, apalagi di Empat Mata yang saat itu juga ada versi siaran live-nya, jelas makin bergegas. Saya yang terbiasa bekerja dalam pace yang lambat benar-benar dibuat sangat “kemrungsung” dan “keponthal-ponthal”.
Di Jakarta, saya merasa kesepian. Nggak ada teman, bingung mau nongkrong di mana. Kota ini ramai, namun saya merasa sendiri. Hal itu, ditambah dengan ketidakmampuan saya mengimbangi ritme kerja ala Jakarta yang thas-thes akhirnya membuat saya memutuskan untuk berhenti dan memilih bekerja santai sebagai penulis saja di Jogja. Saya yang tidak petarung-petarung amat kelihatannya lebih cocok kerja di Jogja atau Magelang.
Praktis, saya hanya sempat tapping untuk 3 episode di Empat Mata. Kendati demikian, pekerjaan singkat itu akan tetap menjadi salah satu pekerjaan yang paling saya kenang. Apalagi, pekerjaan itulah yang memungkinkan saya jadi punya kesempatan untuk ngobrol dengan Ki Joko Bodo (alm) versi yang sudah cukur dan rapi, sosok yang belakangan baru saya ketahui ternyata sama-sama bernama Agus.
Juga ngobrol dengan Yeyen Lidya, sosok idola ribuan remaja laki-laki Indonesia yang dulu sering saya tonton secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi melalui acara kuis tengah malam di TPI itu.
Selain itu, pekerjaan ini pula yang sampai sekarang memunculkan reputasi saya sebagai seorang “artis” di kampung saya. Sampai sekarang, masih banyak tetangga atau kawan yang masih suka bilang “Waiki, artis’e teko” tiap kali saya pulang ke Magelang.
Dulu mas Agus terkenal karena tulisan di blognya yang bikin ketawa sampai sakit perut.
ReplyDeleteSaya dapat buku gratis karangan mas Agus yang masih saya simpan sampai sekarang mungkin ketika mas masih jadi talent itu.
Salut, mas Agus konsisten menulis.
Keren banget mas
ReplyDeletepertama tahu mas agus ya melalui blog, awalnya dulu pas mau ikut acara blogger nusantara, terus tahu lagi pas mas agus tampil di tv, di net tv seingat saya waktu itu, nggak pernah tahu kalau ternyata mas agus pernah jadi talent selama 3 episode di bukan empat mata hehe
ReplyDeleteterima kasih utk infonya
ReplyDeletetips memilih laptop
Hello mmate nice blog
ReplyDeleteMas Agus ini sungguh menginspirasi karena mengungkap perjalanan karier yang unik dan penuh warna dari penjaga warnet hingga menjadi talent di acara televisi ternama. beliau menyoroti betapa pentingnya kesempatan dan kemauan untuk mencoba hal-hal baru dalam hidup, serta bagaimana setiap pengalaman dapat membentuk dan mengubah arah karier seseorang. Selain itu, mas agus juga menunjukkan bahwa kesuksesan tidak selalu harus diukur dari pekerjaan yang konvensional, namun juga dari pengalaman dan kesempatan yang tak terduga.
ReplyDelete