Saya melihat ilustrasi suasana rumah nenek di momen lebaran karya ilustrator Arif San ini dengan perasaan yang sangat sentimentil. Apa yang digambarkan pada ilustrasi itu kini akan segera saya hadapi.
Lebaran tahun ini menjadi lebaran pertama bagi saya tanpa seorang nenek. Nenek saya, baik dari jalur bapak maupun jalur ibu, baik nenek kandung maupun nenek tiri, sudah tiada semua. Mbok Ruliyah, nenek terakhir yang saya punya meninggal dunia bulan Mei tahun lalu. Tahun ini jelas akan menjadi lebaran yang berbeda. Tak ada lagi tangan tua nenek yang keriput itu untuk saya ciumi. Kebersamaan kumpul keluarga besar yang dulu berpusat pada sosok nenek kini terancam mulai luntur, tahun demi tahun, cepat atau perlahan.
Kepergian nenek tentu saja menyisakan lubang besar dalam hati saya yang tak akan pernah bisa ditambal dengan apa pun. Dan dengan lubang itulah kini saya melanjutkan hidup saya.
Sekarang, bapak dan ibu saya sudah menjadi kakek dan nenek, saya pun sudah menjadi bapak dan Kalis menjadi ibu. Raras anak saya sudah menjadi cucu bagi kakek dan neneknya. Bapak dan ibu saya sebentar lagi bakal menjadi poros baru bagi keluarga besar saya dan dua adik saya. Kelak saya juga yang akan menjadi poros keluarga besar bagi anak-anak dan cucu-cucu saya. Begitu seterusnya.
Waktu memang terus merambat maju, tak pelan, namun juga tak cepat. Ia berderap sesuai dengan kodrat edarnya. Kesenangan dunialah yang membuat waktu terasa lambat, dan kematian orang-orang tercintalah, yang membuatnya terasa cepat.
Ingatan saya rasanya terlempar ke masa lebaran saat saya masih bocah kecil. Bocah yang amat bersemangat menyambut bedug masjid pagi hari saat lebaran. Betapa itu menjadi masa-masa yang indah dan menyenangkan.
Pada akhirnya, kini saya sadari, bahwa yang paling saya rindukan dari lebaran masa kecil saya ternyata bukan mercon dengan segala gegap gempitanya, bukan uang saweran hasil dari keliling rumah tetangga yang saya anggap kaya, pun bukan celana dan baju baru dengan dompet Dagadu yang amat setil itu, melainkan kehadiran orang-orang tercinta di sekeliling kita, yang dulu kehadirannya kita anggap wajar dan biasa saja.
Tampaknya benar belaka lirik lagu Rhoma Irama itu, “Kalau sudah tiada baru berasa bahwa kehadirannya sungguh berharga”.
Ya Tuhan, doaku hari ini sederhana. Semoga di akherat nanti, saya dan orang-orang yang membaca tulisan ini, dikumpulan bersama orang-orang terkasih, dalam keadaan yang baik.
Ah, maaf, saya menangis saat menulis kalimat ini.
Aku nangis baca ini 😭😭😭
ReplyDelete