Ada masa ketika saya sangat pesimis pada banyak hal yang melibatkan masa depan. Ekonomi, pendidikan, dan tentu saja asmara.
Sejak SMA, saat kawan-kawan sebaya saya mulai sibuk memboncengkan kekasihnya masing-masing di hari minggu yang syahdu, saya hanya bisa sibuk mengayuh sepeda onthel menyusuri rute event sepeda sehat dan berharap kupon saya tembus dan mendapat doorprize kulkas atau televisi layar datar.
Saya adalah lelaki lemah dengan saldo rekening yang jauh lebih lemah lagi. Motor tak punya, tampang pun tak bisa diajak kerja sama. Menjadi bujang lapuk adalah konsekuensi yang sangat masuk akal.
Agak gentar mental saya untuk membayangkan bahwa saya bakal punya kehidupan yang lebih baik, punya istri yang gemati, punya anak yang lucu, dan dicintai kawan-kawan karena rajin serkiler kalau mereka menanggap jathilan atau organ tunggal.
Kadang, selepas SMA, saya sering membayangkan apa yang terjadi di kisah-kisah FTV itu terjadi pada saya. Saya membayangkan bapak saya mendadak memberi kabar gembira, ia mengatakan bahwa dirinya sebenarnya adalah seorang taipan bisnis yang berpura-pura hidup miskin selama bertahun-tahun demi menguji ketangguhan mental saya sebagai putra mahkota penerus perusahaan.
Namun tentu saja itu hanya bayangan konyol. Hidup saya tidak mungkin se-SCTV itu.
Pada akhirnya, kebaikan Tuhanlah yang membuat saya akhirnya merasakan hidup yang lebih baik walau tiada seindah skenario ala FTV itu.
Kepada saya, Tuhan bukan hanya memberikan saya bapak yang piawai mendidik anaknya untuk selalu bahagia dan ibu yang doa-doanya sanggup membacok langit. Tuhan rupanya juga memberikan saya Kalis Mardiasih, perempuan konyol namun baik hati yang membuat hidup saya menjadi jauh lebih berani untuk bermimpi tentang banyak hal.
Ah, rasanya jadi geli sendiri tiap kali melihat foto saya di masa lalu yang penuh dengan pesimisme itu.
Dan ya, saya yakin, Kalis juga pasti tidak pernah menyangka, bahwa lelaki pesimis itu kelak akan menjadi suaminya.
Hahaha. Mamam tu Agus Mulyadi.
0 komentar :
Post a Comment